Selasa Legi, 5 November 2024
Suami jatuh cinta pada wanita lain dan menikah lagi, bagaimana itu bisa terjadi? Setidaknya, pertanyaan ini, sudah terlambat untuk diungkapkan belakangan, karena hal itu sudah terjadi di depan mataku yang harus kuhadapi sebagai fakta dan realita sosial dengan pensiasatan secara apa adanya. Minta cerai lalu putus hubungan sebagai suami-istri, pikirku, terlalu berisiko besar bagi anak-anak. Jalan yang harus kutempuh, mau tidak mau, terima atau tidak terima; walau sangat sakit dirasakan, adalah harus merengkuh kenyataan hidup sebagai istri yang bermadu. Artinya, aku harus siap secara lahir maupun batin menerima cibiran siapapun yang menyebutku sebagai istri yang gagal.
Gagal mengurus suami sehingga jatuh cinta pada wanita lain, gagal mempertahankan cinta tunggal dan kesetiaan mas hasto yang begitu besar selama ini, hanya karena emosi gejolak jiwa sesaat, kandas pada gelora birahi liar pada sekretarisnya yang cantik nan menantang. Wanita itu bukan saja dinikahi, tapi juga dihadiahi rumah dan mobil mewah, juga pesta belanja setiap bulan ke singapura. Sementara aku dan anak-anaik, perlahan tapi pasti, mulai diabaikan dan akhirnya kami hidup cuntang puranang. Duh gusti!
Kini aku harus menerima dan menganggap peristiwa ini murni takdir, kodrat atau apalah namanya dari Sang Khalik. Dengan hati yang ikhlas dan jiwa yang tulus, tanpa rasa sesal pada kekuatan Tuhan, aku berserah diri pada-Nya, bergantung secara total dari lubuk hati terdalam, sehingga gundah dan rasa sesak di batinku, dapat terobati secara lambat laun. Sejak rasa sakit yang melukai batinku itu datang, aku menjadi lebih intensif berdoa dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Saat ini, rasanya hanya pada Allah lah satu-satunya tempatku mencurahkan isi hati, mengeluh, menangis dan mengungkapkan kepedihan jiwa itu dengan harapan rasa sakit itu bisa terobati di kemudian hari. Dan aku berharap agar Allah cepat menjamahku, meneduhkan batinku yang terbakar duka untuk kemudain keluar dari semua kesulitan itu.
Sejak kasus itu mengemuka, aku lebih banyak bertasyakur dan bersyukur, menjadi lebih konsen menuju ke haribaan-Nya, menuju kasih-Nya dengan harapan penuh atas uluran tangan-Nya, meraih tanganku, yang saat itu nyaris meregang nyawa akibat jeratan kepedihan yang teramat sangat. Alhamdulillah, walau lambat tapi pasti, akhirnya kini aku bisa juga menghadapi kenyataan ini secara apa adanya. Semua ini kudapatkan karena aku akhirnya bisa berbesar hati, legowo menerima keadaan ini sebagai keputusan Tuhan yang menciptakanku, yang mencintaiku dan memberikan takdir-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya, termasuk juga aku yang lemah bahkan sangat lemah ini.
Artinya, realita hidup ini harus kukatakan sebagai iradat dan kodrat garis tanganku, garis merah hidup sebagai ibu dengan suratan nasib malang, di mana cinta sucinya dipatahkan, kasih tulusnya dinodai, bagaikan kertas putih ternoda oleh darah hitam yang kotor. Yaitu, ketika sangat mencintai, betul-betul mencintai total, mengabdi sepenuh hati pada suami selama ini, namun di luar dugaan, diam-diam ternyata cinta itu dipatahkan, diduakan oleh pria yang selama ini sangat dikagumi, kubanggakan dengan meyakini bahwa dialah yang terbaik di dunia, dialah cinta sejati dan dialah segalanya bagiku, selain Tuhan. Tapi sayang, endingnya ternyata begini saja, pahit sekali.
Kesetiaan dan cinta yang kuimpikan, ternyata hanyalah fatamorgana indah, dekat tapi tak mampu tersentuh tanganku. Pada mulanya, Mas Hasto, suamiku, merahasiakan pernikahannya dengan Eki, sekretaris pribadi yang cantik dan sensual itu. Bodohnya aku, mengapa selama ini aku percaya saja pada perempuan muda bermulut manis itu. Kesantunannya padaku, kesopanannya padaku, benar-benar membuat aku terlena, mengabaikan bahwa di balik harumnya tebaran wanginya, ternyata ada duri yang tajam, racun yang menyengat dan akhirnya membuatku terjatuh dalam pelukan penderitaan.
Ternyata di balik keindahan warna yang ditebarkan, ada sengat yang membengkakkan dagingku, membuatku sengsara, nyaris selama-lamanya. Ibarat bait-bait lagu dendang Melayu judul Cindai yang disuarakan Siti Nurhalizah, Eki yang lembut, telah bertanam tebu di pinggir bibir, tapi menebar racun tajam yang sangat keras menusuk kepada relung jiwa dan batinku yang lemah. Manis di mulutnya ternyata hanya kembang kepalsuan yang belakangan meluluhlantakkan kebahagiaan, kemesraan, keceriaan ku dan anak-anak.
Secara jujur kuakui, bahwa Eki memang cantik dan sangat cerdas. Di luar pekerja cekatan menangani urusan kesekretarisan Mas Hasto, dia juga sangat peka terhadap apa yang disukai oleh suamiku. Bukan saja dalam hal pekerjaan rutin sebagai pencatat program, penerus perintah, pengatur jadwal dan perencanaan dalam dan luar kantor, tapi juga dia sangat cekatan dalam hal psikologis, kejiwaan tentang apa yang tak didapat suamiku selama ini atas diriku. Bayangkan, setiap hari Eki dengan sigap dan siap menyiapkan vas bunga yang warna pewangian bunga kesukaan Mas Hasto.
Bunga melati, bunga mawar, bunga sedap malam dan beberapa jenis bunga yang secara bergantian dihidangkan di meja kerja Mas Hasto. Tiap pagi pedagang kembang datang mengantarkan bunga-bunga harum itu ke kantor Mas Hasto atas perintah Eki. Sementara di tengah keharuman itu, Mas Hasto pun, terpesona oleh rok mini dengan paha dan betis yang mulus Eki setiap kali masuk kerja. Parfum yang dipakai Eki pun, selalu konstan dengan menggunakan parfum beraroma teraphy, berbau melati, mawar juga bunga sedap malam favorit Mas Hasto.
Suamiku itu, dari dulu memang sangat suka ciri wewangian itu, sementara aku terlambat untuk mengikutinya karena aku tidak tangkas menyiapkannya di kamar atau di rumah, karena hal itu selama ini kuanggap tidak penting. Juga aku tak memiliki waktu karena terlalu sibuk mengurus anak-anak. Teman baikku mengatakan, satu hal ini menjadi kunci kesalahan ku sebagai seorang istri. Aroma teraphy sangat perlu di rumah apalagi di kamar tidur sehingga suami akan merasa nyaman dan selalu ingat pulang ke rumah.
Arkian, selama ini memang tak secuilpun detak batinku menyimpan rasa, curiga kepada gerik gerik suami yang lagi jatuh cinta kepada bawahannya di kantor. Entah ini berangkat dari kebodohanku atau justru karena kepolosanku sebagai wanita desa, yang 20 tahun lalu masih jadi perawan kampung yang disunting Hasto di kelurahan Plered, Bantul, sebelah selatan kota Jogjakarta. Di SMA Negeri I Bantul kami bersekolah dan naik sepeda bersama setiap hari. Kami melewati galangan sawah, pepohonan rindang dan perkebunan tebu setiap pulang dan pergi. Saat itulah kami saling jatuh cinta dan berpacaran selama puluhan tahun. Setelah itu, kami lalu menikah begitu Mas Hasto menjadi sarjana di IKIP malang dan aku menjadi penenun batik ayahku di Plered, dekat laut Parang Tritis.
Keindahan dan sensasi rasa cinta, semua kurasakan saat kami menikah dan berbulan madu di rumah gubuk Parang Kusumo, pinggir laut Samudera Hindia. Dedikasi cintaku kuserahkan sepenuhnya kepada Mas Hasto dan Mas Hasto telah memberikan seluruh kasihnya, kemanjaan dan kemesraannya hingga melambungkan aku ke angkasa kebahagiaan yang begitu indah. Kukatakan saa itu juga kepada dunia malam, dunia laut dan angin Parang Kusumo bahwa Mas Hasto adalah cinta sejatiku, cinta pertamaku, kasihku dan akan aku kenang seumur hidupku.
Pada batu karang Parang Kusumo yang terjal, dengan sebilah pisau kater, Mas Hasto dan aku menorehkan nama berdua dengan daun waru cinta di antaranya. Artinya, kami berikrar untuk saling mencintai, saling menjaga dan saling mengasihi selamanya. Kami meneguhkan cinta kami dengan tulisan tangan berdua, dengan daun cinta yang kelak akan tertulis abadi di karang kokoh, yang akan kami lihat kembali pada suatu bersama anak-anak kami yang lucu.
Walau seorang sajana pendidikan, tapi Mas Hasto tidak memilih profesi sebagai pengajar. Dengan ijazah sarjananya, dia melamar suatu pekerjaan di Jakarta di bidang yang jauh dari jurusan kuliahnya, yaitu melamar di perusahaan konstruksi bangunan. Pengalamannya sebagai pekerja bangunan di PT.Saptoto Jogja saat sambil kuliah, justru menghantarkannya keterima di perusahaan real estate di Jakarta Barat. Setelah melewati testing beberapa macam, Mas Hasto dinyatakan lulus dan bekerja dengan gaji di atas standar rata-rata upah minimum provinsi.
Mas Hasto lalu mengontrak rumah seorang wartawan senior di kompleks SPS Puri Kembangan dan aku langsung dibawa pindah ke ibukota. Dengan berat hati, ayah dan ibuku serta adik-adikku melepaskan aku bersama suami meninggalkan Plered yang penuh kenangan menuju dunia baru, kota megapolitan yang serba sibuk dan penuh warna kehidupan. Sebagaimana watak dasarnya yang disiplin, tekun dan rajin, maka Mas Hasto lakukan sikap itu pula di perusahaan real estate Duta Anggana tempatnya bernaung. Kreatifitas dan agresifitas serta visinya dalam bekerja, membuat Mas Hasto dihitung sebagai staf yang berprestasi luar biasa di perusahaan.
Maka itu, kariernya cepat menanjak dan gajinya pun di tertinggi di antara teman-teman kerjanya yang lain. Sementara itu, Indah Purwati, anak pertama kami lahir, disusul Ramdan dan Dika yang paling kecil. Warna warni rumah tangga kami makin mempesona dan angin kebahagaian pun makin hari makin membahana aku rasakan. Terlebih setelah kehadiran tiga anak kami yang lucu-lucu. Dua anak perempuan, Indah dan Dika, satu pria yaitu Ramdan.
Di dalam kepercayaan sebagian masyarakat Jawa bahwa bila anak pria di tengah antara dua anak wanita, maka yang pria, Ramdan harus diruwat, karena istilah ini dikatakan sebagai "Pancuran kapit sendang", supaya tidak sial, si anak pria, si pancuran harus diruwat dengan dalang sakti berikut wayangan selama suntuk. Hal itu kami lakukan dengan nanggap wayang dari Jawa Tengah, yaitu dua dalang kembar dari Sleman Pak Gito dan Pak Gati. Pak Gito dan Pak Gatilah yang melakukan ritual ruwatan Ramdan anak kami, pancuran yang dihimpit oleh sendang, Indah dan Dika.
Dalam waktu lima tahun, Mas Hasto telah dianggap menjadi direktur bidang, yang membuatnya super sibuk dan sangat jarang bersamaku di rumah. Sejak menjadi direktur bidang, Mas Hasto membelikan aku rumah supermewah di Meruya Utara. Sebuah wilayah pemukiman kelas atas yang dihuni banyak Tionghoa kaya yang rata-rata saudagar besar. Selain rumah, aku juga dibelikan mobil termahal dengan sorang sopir yang selalu standby mengantarkan ke mana aku mau pergi. Sementara uang, aku diberi jatah oleh Mas Hasto setiap tanggal 3 awal bulan dengan jumlah yang sungguh-sungguh besar, sejuta kali lipat dari penghasilanku sebagai juru pembuat batik di Plered sebelum itu.
Kebahagiaan mewarnai kehidupan rumah tangga kami selama bertahun-tahun di ibukota. Walau Mas Hasto sangat sibuk, tapi setiap tiga bulan sekali, dia selalu menyempatkan diri mengajak kami jalan-jalan. Baik itu di dalam negeri maupun ke luar negeri. Walau sekali dalam tiga bulan bepergian bersama, tapi hal itu cukuplah bagiku dan anak-anak mengingat kesibukan Mas Hasto yang begitu padat sebagai direktur perusahaan besar yang sedang naik daun. Kekayaan, uang, kemewahan telah kami dapatkan. Anak-anakku masuk sekolah internasional dan aku kursus privat tiga bahasa asing di rumah. Setiap hari aku ke spa, mandi uap, siatsu, salon kecantikan dan hidup secara jetset.
Mas Hasto menganjurkan kami untuk menikmati hidup dan kehidupan, meninggalkan jauh-jauh pengalaman kampungku sebagai juru batik yang kotor di Plered. Sementara itu Mas Hasto mengembangkan sayapnya membangun gedung-gedung pencakar langit dan apartemen mewah Jakarta, dengan relasi-relasi bisnisnya dari Amerika, Jepang dan Jerman Barat. "Papa kerja keras mencari uang untuk dinikmati, untuk kita manfaatkan, bukan untuk disimpan-simpan di dalam tanah!" kata Mas Hasto. Saat itu, kami merasakan hidup itu begitu indah. Uang telah memabukkan dan membuat kami seakan terbang melayang menguasai angkasa di atas bumi.
Hujan ada redanya, panas pun ada akhirnya, demikian kehidupanku dan anak-anakku setelah itu. Begitu dua di antara anakku masuk perguruan tinggi, kenyataan pahit mulai datang. Mas Hasto menikah lagi dan perhatiannya terkuras untuk pekerjaan dan istri mudanya yang cantik. Mata Mas Hasto tiba-tiba dibutakan dan kami dilupakan seketika, hingga dia tidak pulang ke rumah kami, tapi terus-terusan di rumah istri mudanya Eki yang makin terlihat agresif itu. Hal yang paling menyakitkan lagi, aku dan anak-anak tak lagi diberi uang hingga semua barang-barang berharga kami jual untuk biaya pendidikan dan permakan sehai-hari.
Saat tiga anakku mendatangi kantornya, Mas Hasto mengusir ke tiga anakku dan Eki bahkan meludahi anakku tertua, Indah Purwati. Oh Tuhan! Kesabaranku yang begitu tangguh selama ini ternyata berbatas juga. Aku tak sanggup lagi menghadapi polah tingkah Mas Hasto dan aku menjual rumah, mobil mewah lalu kami pulang kampung ke Plered. Ketiga anakku bersekolah di Jogja dan aku membangun rumah kecil di dekat rumah ayahku di Plered. Ketiga anakku kubelikan motor bekas dan mereka naik motor pulang pergi sekolah.
Perubahan polah hidup ini pertama dirasakan sangat berat, tapi lama kelamaan menjadi biasa juga. Walau termehek-mehek, aku dapat membiayai ketiga anakku dengan usaha batik, apalagi setelah Indah dan Ramdan nyambi kerja di Jogja, keduanya menjadi pegawai rumah busana Mirota di Jalan Malioboro. Karena ada tagihan hutang di Meruya Jakarta, saat tetangga butuh uang dan meminjam padaku, aku terpaksa naik kereta Senja Utama ke ibukota. Di dalam kereta aku berkenalan dengan kakek-kakek sebelah tempat dudukku yang belakangan kekenal dengan nama Engkong Hidayat. Si Engkong ternyata mempunyai indera ke enam yang tajam, yang melihat persolan hidupku dan anak-anak yang begitu berat.
"Kau bekas orang kaya yang tersisihkan, benar begitu?" pancing Si Engkong, sambil tersenyum penuh arti. Singkat cerita, semua kisahku terbaca secara persis oleh Engkong dan Engkong Hidayat menyebut bahwa suamiku, Mas Hasto, lupa diri karena terkena santet asmara gila.
"Engkong harap ananda tidak minta cerai dan jangan bercerai. Sebab ada hal yang tak wajar pada diri suamimu yang begitu baik, sampai melupakan istri dan anak-anaknya. Kalau ananda tidak keberatan, Engkong bisa selesaikan persoalan ini dan suamiku insya Allah akan pulih dari kegilaannya!" imbuh Engkong Hidayat.
Aku hanya terdiam mendengar ucapan itu, tapi apa yang diucapkan masuk juga dalam batinku, karena janggal sekali Mas Hasto yang begitu baik selama ini tiba-tiba menjadi jahat tanpa perasaan. Singkat cerita, aku sepakat menerima bantuan Engkong, walau sepenuhnya aku tetap bergantung kepada Allah SWT. Engkong pun mengakui, bahwa dia pun berserah diri dan meminta ridho Allah dalam menangani kasus kami ini. Di stasiun gambir kami berpisah dan Engkong Hidayat pun pamit pulang ke rumahnya di Jakarta Selatan.
Setelah bayaran hutang dari tetangga di Meruya, aku kembali bersama anak-anak di Plered. Tiga minggu setelah itu, Mas Hasto datang sendirian dan berlutut meminta maaf padaku dan meminta maaf pula pada anak-anakku. Mas Hasto menangis memintaku untuk kembali ke Jakarta dan menempati rumah barunya di Permata Hijau. Eki, istri mudanya ternyata kabur dengan pria lain dan menguras 100 milyar deposito bersama dan menjual apartemen mereka di Pluit, Jakarta Utara. Tanpa sepengetahuan Mas Hasto, diam-diam Eki ternyata sudah bersuami sebelum dinikahi Mas Hasto.
Bersama suaminya, mereka bermain dukun dan melakukan Santet Asmara Gila pada Mas Hasto. Semua itu dilakukan oleh suami-istri itu untuk memperdayai harta Mas Hasto dan setelah menguras semuanya, suami-istri petualang gaib itu kabur ke luar negeri.
"Eki dapat masuk bekerja di perusahaan Duta Anggana pun, dilakukan dengan bumbu-bumbu mistik hingga berhasil menjadi sekretaris Hasto, suamimu. Walau harta Hasto terkuras sampai 100 milyar, jangan lagi dipikirkan, yang jelas dia sudah terbebas dari jerat mistik Santet Asmara Gila dan kini hidup normal kembali. Kegilaannya dengan melupakan istri dan anak-anak sudah pulih kembali, bolehlah ananda kembali bersuami istri secara layak dengannya!" pesan Engkong Hidayat padaku.
Tiga hari di Plered, aku, Mas Hasto dan tiga anak kami, naik motor ke Parang Kusumo. Kami menginap di rumah gubuk sewaan di bibir Samudera Hindia itu. Bersama anak-anak, kami kembali ke batu karang yang kami ukir dengan nama kami dan gambar daun waru di antaranya. Ukiran nama di batu karang terjal yang menggambarkan ke abadian cinta kami 22 tahun yang lalu. Ketiga anakku, mengukir nama mereka masing-masing di bawah nama kami berdua. Maka kini nama itu menjadi lima dan menjadi pertanda, bahwa kami berlima akan bersatu kembali, bernaung dalam cinta sejati, yang dulunya terpecah karena Santet Asmara Gila. Harapan kami, bahwa kali ini cinta itu tidak lagi terganggu dan ternoda oleh siapapun dan Engkong Hidayat siap untuk membentengi cinta suci itu. Kisah ini merupakan kisah nyata yang namanya kami samarkan.