Selasa Legi, 5 November 2024
Malam semakin larut. Kegelapan menyapu seluruh pepohonan di sekitar taman depan rumahku. Seekor gagak bersuara tepat di atas kepalaku. Menurut orangtua dulu, bila burung gagak berbunyi di atas rumah, maka keesokan hari akan ada orang yang meninggal di sekitar rumah itu. Supaya tidak ada yabg meninggal, maka suara koak gagak itu harus dibalas secara langsung. Cara membalasnya adalah dengan ber-koak menirukan suara gagak. Koak, koak! Dengan begitu, kata orangtua dulu, nyawa orang yang akan meninggal berdasarkan berita dari Si Gagak, kontan akan batal. Artinya kabar isyarat gagak itu termentahkan oleh suara balasan suara manusia yang sedang tidak tidur tengah malam. Bila tidak ada orang yang bangun dan tak dapat membalas suara itu, maka keesokan harinya pastilah akan ada orang yang meninggal di sekitar rumah. Hal ini tentu saja'berdasarkan kepercayaan lama atau suatu klenik yang sulit dibuktikan kebenarannya. Sebab sebagai orang beragama, semua manusia yakin bahwa bila Tuhan sudah menghendaki sesesorang meninggal, pastilah meninggal, walau koak gagak sudah dimentahkan.
Karena dorongan tak ingin ada berita duka, aku membalas-suara gagak itu secara reflek. Dengan suara persis bunyi paruh gagak, aku mengeluarkan suara sambil melihat gagak yang berkelebat di dalam gelap. Tapi anehnya, setelah lewat dengan koak-nya, gagak yang sama kembali lagi dan berkoak lagi. Akupun membalas lagi suara koaknya. Maka itu terjadilah balas membalas suara. Gagak itu mondar mandir di atas kepalaku dan terus berisik. Hal yang tak lazim dilakukan gagak itu membuat aku menghentikan suaraku. Aku terdiam beberapa saat dan mencari sumber suara untuk mengetahui di mana posisi Si Gagak.
Dari sinar lampu neon 20 watt yang temaram di taman, aku melihat sosok gagak itu yang ternyata hinggap di atas pohon jambu merah dekat tempatku berdiri. "Oh Tuhan, itu gagak berhenti di dekatku, apa maknanya?" batinku, bertanya-tanya. Malam itu aku tak dapat tidur. Lamunanku jauh ke seberang Pulau Jawa kepada ibuku yang sedang terbaring sakit di Aceh. Sambil berdoa memohon bantuan Allah agar menolong ibuku keluar dari penderitaan fisiknya. Aku tafakur sendirian di bangku tamanm selain tidak ada nyamuk, di taman itu aku merasa sangat konsentrasi menghadap langit. Ada rasa nyaman di tengah rasa dingin yang menggigit dan terasa lebih dekat kepada Allah sebagai sandaran mengalamatkan doa. Dengan konsentrasi penuh aku menatap langit hitam pekat sambil merninta kesembuhan ibuku kepada Allah. Rasanya Allah mendengarkan permintaan tulusku dan Allah mengabulkan.
Setelah satu jam aku konsentrasi tanpa dilihat oleh seorangpun di taman itu, aku mengakhiri doaku dengan menyapukan kedua telapak tanganku ke wajah. Beberapa saat setelah itu, tau-tau burung gagak itu lewat dan mengeluarkan suara "kematian". Aku lalu membalas suara itu dan terjadilah perang suara yang memecah kebisuan malam. Gagak berwarna hitam dengan paruh pekat itu terus berkoak di atas pohon jambu merah. Aku berdiri melangkahkan kaki beberapa jengkal langkah ke dekat pohon jambu. Gagak itu terus berkoak mengisi kegelapan malam. Suara gagak itu makin lama terasa makin menyeramkan. Batinku mulai gulana dan bulukuduk pun mulai berdiri dan tubuhku pun kontan merinding. Tiba-tiba datang rasa gamang yang menyesakkan jantung. Sergapan perasaan gundah gulana pun menggantung dalam dadaku. Jam di tangan menunjukkan angka 02.00 dinihari. Burung gagak itu pindah tempat dari pohon jambu ke ranting pohon mangga. Sesaat setelah berpindah, ada kelebat hitam di bawah pohon mangga itu. Seonggok sosok orang berdiri mematung di bawah mangga gedong tengah berbuah lebat itu.
Jantungku berdetak hebat dan batinku semakin miris. Beberapa saat kemudian sosok itu menyibak rambutnya yang panjang mulai melangkah ke depan beberapa jengkal. Sosok manusia itu ternyata berjenis kelamin perempuan karena bentuk pinggul, dada dan kepalanya menunjukkan ciri kewanitaan. "Siapa kamu?" tanyaku dengan sejuta rasa takut. Sosok itu tidak nienjawab sepatah kata pun. Selain tidak bergeming dengan ucapan, sosok itu juga tidak bergerak lagi setelah tiga atau empat meter melangkah maju. "Maaf, kalau boleh tahu, siapa kamu ya?" desakku lagi, gemetar. Sosok perempuan itu tetap diam seribu bahasa. Tapi matanya pelan-pelan kulihat dari bias sinar cahaya lampu taman. Mata perempuan itu putih semua dan tak ada hitam sedikitpun. "Hantu!" batinku. Karena rasa takut bergelayut hebat di sekujur tubuhku, aku mundur beberapa langkah. Aku ingin berlari pulang ke rumah. Pikirku, apa yang kuhadapi adalah hantu, bukan manusia biasa karena rambutnya panjang hingga ke tanah dan matanya semuanya putih.
Sementara burung gagak terus bersuara di pohon mangga, tepat di atas kepala mahluk misterius itu. Karena jarak rumahku dari taman hanya 80 meter saja, aku berbalik badan terus kabur ke rumah. Sesampainya di depan pagar besi rumahku, burung gagak terbang mengikuti dan hinggap di atas genting rumahku. "Oh Tuhan, gagak itu membuntutiku," desahku. Saat aku membuka pagar, di sebelah pagar itu sudah berdiri perempuan berbaju serba hitam dan bermata putih itu. Rambutnya tersangkut di pohon palem yang kutanam dua tahun lalu. "Hantu, hantu, tolooong!" pekikku. Walau sudah berumur, tapi aku tidak malu berteriak minta tolong. Jujur saja, aku takut kalau-kalau hantu itu mencelakakan fisikku atau bahkan mengancam jiwaku. Untuk itu, aku terpaksa berteriak minta pertolongan tetangga. Tapi anehnya teriakanku itu tak mampu membangunkan para tetangga. Jangankan membuat mereka keluar rumah membantu, terbangunpun tidak oleh teriakan kerasku itu. Suara kerasku ternyata ditutupi kekuatan peredam suara yang dimiliki hantu perempuan berambut panjang dan bermata putih itu. "Percuma kamu berteriak, suaramu tidak akan didengar oleh seorangpun di kompleks ini!" katanya, tiba-tiba bersuara.
"Siapa kamu, kenapa kamu datang kepadaku?" desakku, makin gemetaran. Mulutku terasa keluh dan kakiku terasa sulit digerakkan karena takut. Sebelum aku melompat masuk ke rumah, tangan perempuan itu menjamah bahuku. Langkahku kontan terhenti seketika dan aku berada di bawah kuasanya. Jantungku makin berdebar hebat dan sekujur tubuhku menjadi lemas. Rasa takut makin membuncah dan nyaris mematikanku. Tapi perempuan itu berbicara lagi. "Jangan takut dan tidak perlu takut. Aku datang kepadamu untuk mengabarkan berita gembira. Ibumu di Aceh sana sudah sehat dan sembuh total. Dia sudah melawati masa kritis dan beberapa hari lagi bisa keluar dari rumah sakit!” desisnya. Kata-katanya itu tiba-tiba bagaikan air es menyiram panasnya api. Rasa takut, rasa lemas dan gundah gulanaku tiba-tiba sirna dan aku merasakan bahwa tamu misterius itu ternyata sebagai sorang sahabat.
"Gagak di atas itu adalah kekasih gaibku. Dia gagak laki-laki dan aku gagak perempuan. Kami datang bukan mengabarkan kematian, bukan mengabarkan dukacita tapi sukacita, di mana ibumu yang sudah divonis mati, sehat kembali dan Allah menurunkan mukjizat-Nya, apa yang dikatakan manusia tidak bisa sembuh, lain lagi kata dan kehendak Allah. Pulanglah ke kampung besok dan buatlah ritual syukuran atas kesembuhan ibu mu kata mahluk itu, yang belakangan kuketahui dari Kiyai Haji Ainulyakin bahwa dia mahluk dari bangsa jin yang berbentuk burung gagak. Dalam hitungan detik, mahluk itu tiba-tiba menghilang entah ke mana. Burung gagak di atas rumahku pun mengepak, lalu terbang ke arah selatan. Tidak lama setelah itu ada gagak lain yang mengepak dan menyusul gagak yang pertama. Kata Kiyai Ainulyakin, gagak kedua itu adalah gagak perempuan yang maujud sebagai manusia yang menakutkan itu. Gagak itu bermata putih dan bulu lebat di bagian kepala.
Gagak itu adalah gagak abadi yang akan menjadi burung penghuni surga di akhir jaman. Keterangan itu bukan saja jauh dari rasioku, tapi juga membuat aku melamun panjang. Kenapa peristiwa ini jatuh kepadaku dan justru hanya aku yang mengalaminya. Besok paginya aku menelpon kakak perempuanku di Jambi. Ibuku ternyata benar-benar sehat dan detak jantung serta aliran darahnya kembali normaI. Dokter terperangah dan memperbolehkan ibuku pulang beberapa hari setelah pulih betul. Aku langsung pulang dan membuat doa syukuran di rumah kami yang sederhana di pinggiran utara kota Aceh.