Kamis Pahing, 21 November 2024
Cinta boleh mati dan satu pasangan suami istri bisa bercerai, tapi kasih sayang sesama manusia tidak boleh putus. Paling tidak harus tetap bergelora sepanjang masa. Tuhan mengatur manusia yang diciptakan-Nya harus melakukan dua hal : Hubungan spiritual di antara karya ciptaan-Nya, yaitu manusia kepada diri-Nya, yang bersifat ilahiah. Sedangkan yang satu lagi, yaitu hubungan baik di antara sesama insan. Singkatnya adalah hubungan vertikal kepada Allah Azza Wajalla dan hubungan horizontal sesama manusia.
Kisah ini bermula dari suatu malam saat aku mendapati surat cinta untuk suamiku, Bang Fauzi Chaerudin, 48 tahun dari kekasih selingkuhannya, Nora Nabila (bukan nama sebenarnya), 28 thn, janda muda tanpa anak yang menduduki jabatan staf khusus di Dinas Pekerjaan Umum kabupaten Nusa Tiga, sebutlah begitu, provinsi Sulwesi Barat Daya yang dipimpin oleh kepala dinas Insinyur Fauzi Chaerudin Hasan, suamiku juga ayah dua anakku, Ical dan Risa. Surat itu kutemukan di dalam tas kerja suamiku dan aku tersentak. Jantungku berdebar hebat dan kepalaku terasa mau pecah tatkala membaca kata demi kata aksara pada surat pernyataan cinta itu. Batinku menggelegar dan hatiku mendidih karena amarah bercampur rasa cemburu.
Malam itu, Malam Jum'at Kliwon, 27 Januari 2012. Malam keramat yang seharusnya kami melakukan sunnah Rasul, tapi malah menjadi malapetaka besar. Bang Fauzi Caherudin Hasan aku bangunkan dan dia terbangun dari tidurnya. Dengan jantung berdebar-debar aku bertanya tentang surat itu. Sambil mengusap matanya yang masih mengantuk, suamiku tersentak kaget. Matanya langsung segar dan dia terduduk di bibir ranjang. Dia terguncang karena rahasia hidupnya terbongkar oleh istrinya.
Dan apa yang dilakukannya telah begitu jauh bahkan diakuinya bahwa dia telah menikah siri. Batinku menggelegak. Hatiku seperti diiris-iris oleh pisau silet yang sangat pedih dan perih sekali. Pengakuannya mengalir deras dan dia bertekad tak akan berpisah dengan Nora Nabila lagi. Dia mencintai Nora Nabila dan Nora Nabila juga demikian. Mereka tak akan cerai dan suamiku tidak mau menceraikan.
"Kalau begitu, kita bercerai. Ceraikan aku dan urus anakmu, anak kita, lalu pagi ini aku akan keluar dari rumah ini. Aku akan pergi jauh, jauh sekali dan katakan kepada anak-anak bahwa aku sebagai ibu, sangat mencintai mereka dan suatu waktu entah kapan, aku akan menemui mereka lagi," kataku.
Bang Fauzi Chaerudin Hasan tidak berusaha mencegahku. Dan dia memang milih Nora Nabila ketimbang aku. Maka itu, aku bersiap dengan sebuah tas besar dan tas kecil untuk keluar sebelum matahari terbit.
"Selamat tinggal anakku," bisikku di telinga Ical yang sedang terlelap.
Ical anak lelakiku yang baru berumur sembilan tahun dan duduk di kelas empat sekolah dasar, SD Lima Sila 2, Maringgai Selatan, Nusa Tiga, Sulawesi Barat Daya. Anak pria yang sangat dekat denganku dan masih sangat tergantungan kepadaku. Setelah itu, aku mencium anak gadis kecilku, Risa Mandalika, delapan tahun, yang aru duduk di bangku kelas tiga pada sekolah yang sama dengan abangnya, sekolah dasar Lima Sila, berjarak dua kilometer dari rumah kami di Jalan Ampera Raya, Maringgai Selatan.
"Selamat tinggal anak gadisku, Risa yang jelita. Semoga Allah Azza Wajalla senantiasa melindungimu dan hidup.mu bahagia sepeninggal 1bu," bisikku di telinga Risa setelah aku menciumnya dengan penuh kasih sayang.
Dengan mata berkaca-kaca dan hati teriris, aku menenteng tas besar dan menggantungkan di bahuku tas kecil, aku keluar rumah. Sementara Bang Fauzi Chaerudin Hasan duduk terdiam tanpa sepatah katapun di bibir ranjang. Merenung dan aku tidak tahu apa yang direnungkannya. Tapi terdapat kesan yang aku tangkap dari batinnya. Dan hal itu tidak dikatakannya kepada siapapun, termasuk kepadaku. Yaitu dia menunggu momentum ini. Dia tidak mau menceraikan aku tetapi jika aku menuntut cerai, maka dia akan menceraikan aku. Dia lebih memilih Nora Nabila yang muda dan cantik sensual ketimbang aku yang sudah tua dan gemuk berlumur lemak di tubuhku.
Sebenarnya momentum inilah yang dia tunggu. Bahkan Nora Nabila pun, belakangan aku dengar, memang meminta agar aku diceraikan oleh Bang Fauzi Chaerudin, lalu dia baru bebas mengikrarkan diri bersuami istri dengan suamiku. Sudahlah, Bang Fauzi Chaerudin Hasan adalah masa lalu. Masa kini yang harus aku jadikan masa lalu. Aku harus pergi jauh dari dirinya dan anak-anakku yang masih kecil. Aku menolak poligami dan menolak keras untuk dihianati. Cintaku kepada Fauzi Chaerudin sangatlah besar. Kasih sayangku selama dua belas tahun bersuami istri dengannya sangatlah dalam. Namun, satu kali ketahuan bahwa cintaku dikhianati, maka selesailah sudah. Aku sangat marah dan emosional akan penghianaan itu.
Bagiku pengkhianatan adalah hinaan, penzoliman rasa yang tak boleh ditolerir dan aku harus bercerai. Aku keluar rumah dengan mobil pribadiku sedan Honda Jazz merah yang kubeli setahun lalu setelah mendapatkan uang warisan dari almarhum ayahku di Lahat, Sumatera Selatan. Aku yang anak tunggal mendapatkan banyak tanah di Lahat, rumah dan beberapa mobil angkutan antar kabupaten. Semua dijual dan uangnya masuk ke dalam rekening pribadiku. Dengan rekening yang cukup besar itulah, maka aku berani pergi.
Setiap butuh uang aku bisa mencairkan uang depositoku dan aku tidak bertergantungan dengan siapapun. Dengan hati yang gamang aku menstarter Si Merah, kendaraan Honda jazz ku dan pergi meninggalkan rumah. Mobil itu meluncur ke arah selatan dan sampai di rumah teman baikku, Hasnah Maruti di Jalan Losari Raya, Makasar. Kala itu hari menjelang siang dan Hasnah Maruti tersentak mengetahui aku kabur dari rumah. Aku titipkan mobilku di garasinya yang besar dan aku katakan bahwa aku akan pergi ke Jakarta siang itu juga.
"Kau mau ke mana sayang? Mau pulang kampungmu di Lahat?" tanya Hasnah Maruti, berkerut.
"Mungkin begitu Hasnah. Pokoknya, aku titip mobil ini kepadamu. Nanti, bila saatnya tiba, mobil ini tolong dijual dan uangnya diberikan kepada dua anakku di Maringgai, Ical dan Risa. Tolong ya Hasnah," pintaku.
Hasnah menganguk lalu memeluk dan menciumku. Akupun memeluk erat tubuhnya dan mencium pipinya yang kuning langsat. Kulit bersih putih sebagaimana umumnya wanita dari kabupaten Pagaralam, Sumatera Selatan, kampungya yang berada di kaki Gunung Dempo, tidak jauh dari kampungku di Lahat. Aku naik pesawat terakhir di bandara Makasar menuju bandara Soekarno-Hatta, Kota Tangerang. Aku diantarkan oleh Hasnah dengan airmata dan aku pergi ke Jakarta dengan tanpa tujuan pasti. Yang jelas aku harus pergi, pergi jauh untuk membunuh rasa galauku. Rasa resah dan terguncang akibat pengkhianatan cinta. Akibat penzoliman hati oleh suamiku, Insinyur Fauzi Chaerudin yang jahat.
Sesampainya di bandara Soekarno-Hatta hari sudah malam. Aku keluar koridor qirport internasional itu pukul 20.45 waktu Indonesia bagian barat. Dengan taksi bandara aku check in ke hotel airport, Alium Hotel di Poris Cipondoh, Kota Tangerang. Aku tertidur nyenyak dan terbangun menjelang siang tanpa tahu harus pergi ke mana. Namun, saat jam harus check out, keluar hotel, aku kembali ke bandara Soekarno-Hatta dan memutuskan terbang ke Palembang.
Sesampainya di bandara Sultan Mahmud Badarudin aku menyewa mobil Toyota Avanza menuju Lahat. Aku pergi ke makam ayah dan ibuku berziarah, sekalian pamit untuk bercerai dengan Bang Fauzi dan pisah sementara dengan anak-anak untuk merantau jauh. Ayah dan ibuku yang makam mereka bersebelahan, seakan bicara kepadaku. Mereka bertanya aku akan pergi ke mana dan mengapa harus pergi meninggalkan keluarga.
"Bagaimana dengan dua anakmu yang masih kecil itu?" tanya ayahku, seakan benar-benar bicara kepadaku senja itu. Aku menjawab dengan batinku, bahwa aku akan mandiri di manapun, karena aku tidak mau ada pengkhianatan cinta dan hatiku terlanjur luka parah oleh pengkhianatan cinta Bang Fauzi Chaerudin Hasan. Ayahku seakan menganguk dan ibuku seakan memeluk aku dengan airmata yang membanjiri pipinya.
Setelah ziarah aku kembali ke mobil dan kembali ke kota Palembang. Hampir tengah malam, pukul 13.45 WIB, aku masuk hotel Central di Jalan Sudirman Palembang dan besok siangnya kembali ke Jakarta. Dari bandara Soekarno-Hatta aku terbang ke bandara Changi Singapura untuk melanjutkan perjalanan ke bandara Kempo. Seoul, Korea Selatan. Untuk menghindari deposito bank ku ludes, aku bekerja di Seoul.
Aku menjadi pekerja gelap di pabrik mobil Daewoo di Busan. Aku check out dari hotel Lotte, kawasan Ullchiro untuk kemudian penyewa apartemen murah di Busan, tidak jauh dari tempatku bekerja di pabrik Daewoo. Karena mempertimbangkan beberapa hal, maka aku tidak pernah menghubungi Hasnah, Bang Fauzi dan anak-anakku via telpon. Aku menutup semua hubungan komunikasi itu agar aku kuat selama aku menghilang. Aku percaya Hasnah akan memperhatikan anak-anakku dan yakin karena cintanya kepada anak-anak, Bang Fauzi Chaerudin tak akan menelantarkan dua anakku dari dirinya itu.
"Anak-anak akan aman bersamaku, yakinlah bahwa anak-anak akan baik-baik saja walau engkau tidak pulang lagi untuk selamanya," kata Bang Fauzi, saat terakhir aku di rumah, lalu pergi meninggalkan semua itu.
Dari tanggal 13 Februari, Senin Pahing aku kerja di Daewoo, setahun kemudian aku berkenalan dengan pekerja asal Jawa Tengah, Purwanto Saroso di pabrik otomotif Busan itu. Purwanto seorang bujang tua yang memiliki ilmu sakti mandraguna. Dia pengamal ilmu Sabda Alam Nur llahiah, yang punya kemampuan lebih. Dia mempertunjukan kepadaku bagaimana berjalan di atas laut dan melompat gedung pencakar langit di Kota Seoul di tengah malam. Kalau dia mau, katanya, dia bisa praktek paranormal di Indonesia dan akan sangat terkenal. Tapi, dia tidak boleh melakukan hal itu. Ayahnya yang menurunkan ilmu tersebut, pewaris tunggal dari trah keluarga Temanggung, tidak memperbolehkan dia praktek supranatural. Dia harus tetap bekerja dan kerja sebagaimana kebanyakan orang. Maka itu, bujang tua umur 40 tahun itu, memilih bekerja di Korea Selatan dan mangkal di pabrik otomotif Daewoo selama lima belas tahun.
"Saya datang ke Korea Selatan dan bekerja di pabrik ini sejak umur 25 tahun. Sekarang umur saya 40 tahun dan sudah 15 tahun bekerja untuk Daewoo," katanya.
Memang Purwanto Saroso kaya raya di Seoul. Dia bukan hanya punya apartemen tapi juga punya rumah mewah di pinggiran Seoul, desa asri Keinji Nakato, kampung Jepang di Kam Dae Mon. Hubungan pertemanku dengan Purwanto benar-benar berteman. Kami tidak ada hubungan lain selain berteman. Karena saking dekatnya dengan Purwanto, maka lelaki berkulit coklat itu menurunkan sebagian ilmunya untukku. Leluhurnya datang secara gaib dan meminta agar Purwanto membagikan sebagian ilmu supramistiknya kepadaku.
Dan aku sangat senang menerima aliran ilmu unik dan musykil tersebut. Ilmu supranaturalis Sabda Alam itu sejenis ilmu karomah, atau laduni yang datangnya dari Allah Azza Wajalla dengan jalur terpilih. Hanya orang-orang tertentu yang terpilih untuk mendapatkan turunan ilmu metafisika ini. Inti ilmu ini adalah "Apabila alam merestui, tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh manusia!" Maka itu, berkat ijin Allah SWT, maka aku bisa berjalan di permukaan Iaut, bisa terbang tanpa mesin di malam hari dan mampu mengetahui apapun yang terjadi di depan mata dan di masa depan.
Aku berterima kasih sekali Purwanto, mahaguruku, mau menurunkan ilmunya itu. Semua itu tentu berkat bantuan Allah. Allah telah memberikan ilmu itu melalui leluhur Purwanto dan Mas Purwanto pribadi yang sangat baik kepadaku. Mengapa hubunganku sebagai wanita dengan Mas Purwanto selaku pria, tidak bisa bersambung? Belakangan rahasia itu terbongkar. Dan aku harus menyimpan rahasia itu dengan ketat. Mas Purwanto ternyata pria berkelamin ganda. Dia mengalami keanehan hidup sejak lahir. Maka itu dia tanpa nafsu biologis, tanpa syahwat asmara dan tanpa kejantanan. Tidak pula kebetinaan. Tidak maskulin tidak pula feminine. Dia seperti Semar. Bukan lelaki, bukan wanita. Tokoh semar itu kelihatan seperti laki-laki, tapi berpayu dara besar. kelihat wanita, api Nampak jantan dan perkasa.
Namun, di dalam mimpiku, datang gaib karuhun Mas Purwanto mengatakan bahwa Purwanto itu adalah Semar yang maujud. Sikap hidup, mengayomi, baik hati, penolong dan ikhlas, adalah prilaku Semar dan dialah Semar yang nyata. Untuk itulah, aku diminta memanggil Mas Purwanto secara gaib dengan panggilan Kang Semar. Walau aku tidak bercerita, Kang Semar mengetahui latar belakangku semuanya, Dia tahu siapa aku dan apa yang terjadi dalam kehdiupanku sebagai tragedi perkawinanku yang sangat dahsyat. Dia tahu aku dikhianati dan suamiku selingkuh dan aku pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan suami dan dua anak.
"Aku berharap, engkau ambil cuti dan temui dua anakmu di Sulawesi Barat Daya. Hubungan percintaan boleh putus dan terputus, tapi hubungan kasih sayang, tidak boleh sirna. Jangankan pernah bersuami istri, kepada orang yang sangat asingpun kita harus saling menagisihi. Sabda Alam, harus saling kasih mengasihi antara sesama manusia," demikian pesan Kang Semar, Mas Purwanto Saroso kepadaku.
Apa yang dikatakannya adalah titah. Kang Semar bagiku seperti wakil Tuhan di muka bumi. Maka itu, aku ambil cuti panjang dan menemui dua anakku dan menemui Bang Fauzi Chaerudin di Maringgai, Sulawesi barat Daya. Dengan ilmu Sabda Alam, aku mengecil di Seoul dibantu oleh Kang Semar. Dalam hitungan singkat aku menjadi butiran kecil dan terbang ke Maringgai dan langsung membesar di halaman rumah mantan suami dan dua anakku. Aku maujud dan normal kembali saat aku mengetuk pintu dan berpelukan dengan dua anakku. Ical dan Risa. Kami berpelukan kangen, hangat dan dengan sedikit airmata emosional anak dan ibu.
Tidak berapa lama muncul Bang Fauzi dan istri barunya, Nora Nabila. Nora mencium tanganku dan aku memeluk erat dirinya dengan rasa kasih. Aku mencium tangan mantan suamiku dan dia terharu dengan mendalam. Terharu melihat tubuhku yang mengurus dan tampak semakin tua dari umurku karena ilmu mistik yang aku jalani. Orang berlimu gaib, ternyata akan kelihatan tua dan jauh dari keadaan fisik sebenarnya. Eyang Subur, giginya ompong semua dan tidak boleh menggunakan gigi palsu. Ompong itu karena perjanjian gaib, bahwa dia harus Nampak lebih tua dari umurnya walau menggunakan jas-jas bermerek bagus.
Aku menitipkan anak-anakku kepada Nora Nabila yang ternyata mandul. Nabila sangat menyayangi anak-anakku dan anak-anakku sangat patuh dan sayang pula kepadanya. Hukum interaksi kesinambungan. Apabila kita menyanyangi seseorang. seseorang akan berbalik menyayangi diri kita. Baik kasat mata maupun tersembunyi. Kita menyayangi kucing dan mengelus serta rutin memberikan makan, kucingpun akan menunjukkan rasa sayangnya kepada kita. Menjaga diri kita dengan caranya. Kepada Bang Fauzi yang membuat aku pergi, aku berbalik menyayanginya, mengasihinya walau tidak dengan cinta dan nafsu biologis.
Kepada Nora Nabila, yang merusak hubunganku, aku juga mengasihinya sebagai sesama manusia yang sama-sama diciptakan Allah Azza Wajalla ang sama-sama juga banyak alfa dan khilaf. Kini hidupku terasa enteng dan ringan. Tidak ada beban psikis sebagai ibu dua anak. Anak sudah ada jalur rejeki dan kasih sayang. Jangan cemaskan karena semua anak-anak di dunia dilindungi Allah. Aku tidak boleh egois dan diktator kepada anak. Untuk itu, kini aku merasa plong dan jiwaku total mandiri tanpa beban. Kupasrahkan anak-anakku kepada Tuhan dan asuhan tangan Nora Nabila dan Bang Fauzi. Mobil Honda Jazz ku, karena tidak dibutuhkan, tetap utuh di rumah Hasnah di Makasar dan keserahkan kepada Panti Asuhan Kasih Bunda Tiara di Kota Makasar. Panti itu lebih butuh daripada anakku. Setelah seminggu bersama anak-anak di rumah Bang Fauzi dan Nora Nabila, aku kembali ke Seoul dengan caraku. Meringankan tubuh dan menjadi kecil lalu bersama kembali dengan Kang Semar di pabrik Daewoo, Busan, Korea Selatan.
* Diambil dari kisah nyata dengan nama disamarkan.