Selasa Legi, 5 November 2024
Sebenarnya saat itu aku merasa ragu menerima cincin laknat itu. Ku katakan cincin laknat, karena benda yang selama ini melingkar di jari manisku itu telah menyeretku pada pilihan hidup yang sulit. Awalnya cincin merah delima itu memang telah memberikan nikmat dunia untukku. Karena sejak aku memiliki cincin itu kehidupanku berubah drastis. Aku yang dulunya hanya seorang kuli angkut barang di pelabuhan Bakauheni, menjelma menjadi seorang pengusaha sukses yang mengelola dunia hiburan malam di Bandar Lampung.
Sidomulio 2010 Saat itu aku benar-benar hidup melarat. Sejak kedua orangtuaku meninggal dunia, karena aku adalah anak tunggal, maka otomatis aku jadi sebatang kara. Celakanya, tidak ada harta berharga yang diwariskan oleh orangtuaku padaku. Aku hanya memiliki rumah peninggalan orangtuaku yang cuma berukuran 7 kali 4 meter berdinding papan berlantai semen dan beratap seng yang sudah bocor di sana sini. Karena hidup sendiri aku merasa kesepian dan merasa tidak betah tinggal di rumah. Apalagi aku sama sekali tidak punya pekerjaan. Mulanya aku berniat untuk menjual rumah itu, tetapi pamanku melarangnya.
"Cuma rumah itulah satu satunya harta peninggalan orangtuamu, Rusman. Rumah itu memang sudah jadi milikmu. Tetapi kalau sampai kau jual, aku takut nanti kau kuwalat. Dulu pun aku pernah membujuk ayahmu agar menjual saja rumah itu dan mengajaknya ke Telukbetung, tetapi ayahmu menolak dan memarahi aku!" Ucap paman Zainudin, adik ayahku itu.
Karena aku takut kuwalat, maka kuurungkan niatku untuk menjual rumah itu. Tidak betah berlama-lama di rumah, maka aku nekad pergi untuk mencari pekerjaan ke Bakauheni. Dengan hanya berbekal ijazah SMP tidak ada yang bisa kulakukan di kota pelabuhan di ujung Sumatera itu, selain jadi kuli angkut barang. Setiap ada kapal merapat aku berebut naik ke atas kapal untuk menawarkan jasa pada setiap penumpang, untuk membantu membawakan barang mereka sampai ke atas bus yang akan mereka tumpangi untuk melanjutkan perjalanan.
Tiga tahun aku menjalani pekerjaanku sebagai kuli angkut barang. Selama itu aku merasa tidak mendapat apa-apa dari hasil kerjaku memeras keringat itu. Selama itu aku tetap saja tinggal di kamar berukuran dua kali dua meter di bedeng kontrakan yang cuma berdinding triplek dengan sewa seratus ribu rupiah perbulan. Untuk makan sehari-hari, tergantung dari hasil yang kuperoleh dari upah menjual jasa sebagai kuli angkut barang itu. Kalau sedang sepi aku hanya makan seadanya, malah kadang aku ngutang di warung. Kalau kebetulan sedang ramai barulah aku bisa makan enak dan sesekali bersantai dengan cewek-cewek malam yang memang banyak berkeliaran di pelabuhan untuk mencari mangsa.
Bakauheni 2013 Malam itu merupakan malam yang merubah jalan hidupku. Sebotol Vodka yang ku oplos dengan sebotol Vigour membuat aku jadi mabuk berat. Saaat aku berjalan hendak pulang ke bedeng di tengah jalan aku jatuh tak sadarkan diri. Saat aku siuman tahu-tahu kudapati diriku sudah berada di kamarku. Rupanya ada seorang yang menolongku saat aku terkapar di pinggir jalan. Orang yang menolongku berdiri di depanku. Dia tersenyum ketika melihat aku membuka mata. Aku sendiri cuma terdiam karena aku sama sekali tidak mengenalnya. Sepertinya dia bukan orang sini.
"Rupanya tadi kau minum banyak sekali, hingga kau jadi mabuk berat. Aku menemukanmu tergeletak di pinggir jalan di dekat pom bensin. Setelah aku bertanya pada seorang petugas di pom bensin itu, rupanya dia mengenalmu dan memberitahukan padaku tempat tinggalmu. Maka aku membawamu ke sini." Lelaki asing itu menjelaskan tanpa aku minta.
"Bapak ini siapa?" Tanyaku. Lelaki itu tidak menjawab. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kamarku yang memang sangat kumuh penuh dengan poster. Lalu dia menatapku sambil berkata.
"Namaku Sutarman. Aku biasa dipanggil Ki Tarman. Aku adalah seorang pengembara. Turun dari kapal tadi aku berniat naik bus ke Palembang. Tetapi saat aku melihatmu tergeletak di pinggir jalan dan tidak ada seorang pun yang menolongmu, maka niatku aku urungkan dan segera membawamu ke sini." Jawab lelaki yang berpakaian serba putih mirip seorang Jawa itu. Kutaksir usianya sekitar 60-an.
"Terima kasih sudah menolongku," kataku. Lelaki itu menganggukkan kepalanya. Dia tersenyum dan menatap iba padaku.
"Kau kelihatannya sangat menderita sekali, anak muda. Dulu aku pun pernah mengalami nasib yang sama seperti dirimu saat ini. Aku hidup sebatangkara dan terlunta lunta. Aku bahkan pernah jadi gelandangan dan pengemis. Aku nyaris mati dipukuli oleh preman pasar yang memalak uang hasilku dari meminta-minta. Beruntung ada seorang yang menolongku dan menyelamatkan diriku.
Oh, ya...Aku punya sesuatu untukmu. Mudah-mudahan benda ini bisa menolongmu," kata lelaki itu sambil melepaskan cincin dari jari manisnya.
"Maksud bapak?" Tanyaku tak mengerti. Lelaki itu kembali tersenyum. "Cincin ini pemberian orang yang menolong aku tempo hari. Dia berpesan padaku agar cincin ini digunakan untuk menolong sesama. Mudah-mudahan cincin ini cocok untukmu dan bisa menolongmu," ucap lelaki itu.
"Ta...Tapi, pak..." "Aku tahu kau merasa takut dan ragu. Jangan khawatir aku sama sekali tidak berniat jahat padamu, malah sebaliknya aku ingin menolongmu melepaskan penderitaanmu selama ini," kata lelaki itu seraya menyerahkan cincin itu padaku.
Aneh, tiba-tiba timbul rasa takjUbku saat melihat cincin itu. Kemilau cahaya merah seperti memancarkan daya magis hingga membuat aku tak sadar segera merih cincin itu dan memakainya di jari manisku. Lelaki itu lalu meraih tanganku. Dia memperhatikan cincin yang baru kupakai itu.
"Naluriku mengatakan bahwa kau cocok memakai cincin ini. Aku yakin kelak keberuntungan akan datang padamu. Nah, sekarang aku pamit untuk melanjutkan perjalananku!" Lelaki itu melepaskan tanganku lalu beranjak pergi. Saat itu aku hanya berdiri mematung memandang kepergian lelaki itu tanpa mampu mengucapkan kata sepatah pun.
Sejelan dengan waktu, ternyata Cincin Merah delima itu memang bertuah dan membawa keberuntungan bagiku. Sejak aku memilikinya rezekiku mengalir deras hingga aku bisa menabung dan pindah ke Bandar Lampung. Dari uang tabunganku itu aku berbisnis barang haram. Bisnis ilegal ini memang sangat menjanjikan, hingga pundi-pundi uangku semakin menumpuk. Aku nyaris terlena dengan bisnisku itu. Beruntung seorang teman lama mengingatkan diriku akan bahayanya.
"Ingat, Rusman. Cepat atau lambat pekerjaanmu itu pasti akan tercium oleh Polisi. Sebelum mereka tahu dan mencidukmu, sebaiknya kau cepat hentikan pekerjaan yang beresiko tinggi itu. Aku tak mau melihat kau menyesal di kemudian hari!" Kata Bastian, teman Iamaku yang saat itu kebetulan bertemu denganku di sebuah hotel waktu aku sedang menunggu pelangganku.
Apa yang dikatakan temanku itu sempat membuat aku galau. Mulanya sangat berat bagiku untuk meninggalkan pekerjaan yang mendatangkan untung besar itu. Tetapi di sisi lain aku takut masuk penjara dan mendekam di ruang sempit bertahun-tahun. Membayangkan itu hatiku jadi jerih. Perlahan akhirnya bisnis itu kutinggalkan dan aku beralih ke bisnis dunia hiburan malam. Kebetulan seoran teman mengajak aku bekerja sama mengelola sebuah diskotik yang nyaris bangkrut.
"Aku yakin di tanganmu diskotik itu akan maju pesat," kata temanku itu saat kami melihat para pekerja yang sedang menata ulang dekorasi diskotik yang terletak di jalan Yos Sudarso itu.
Aku sendiri tidak tahu pasti, apakah cincin yang tak pernah lepas di jari manisku itu telah membuat bisnisku itu maju pesat. Setiap malam pengunjungnya selalu ramai. Kata mereka cewek-cewek yang ada di diskotikku itu cantik-cantik. Meskipun di mataku wajah mereka biasa-biasa saja. Mataku atau mata mereka kah yang salah? Entahlah! Bisnisku itu membuat hidupku bertambah mapan. Aku ini sudah memiliki sebuah rumah yang cukup mewah dan sebuah mobil. Aku juga sudah membeli tanah dan memperbaiki rumahku yang di Sidomulio.
Namun, meskipun demikian aku merasa hidupku kering dan hampa. Bagaimana tidak? Di usiaku yang sudah cukup dewasa ini aku belum juga punya istri. Jangankan istri, bahkan pacar pun aku tidak punya. Sebagai bos hiburan malam aku memang banyak dikelilingi perempuan dari berbagai kalangan, baik itu dari kalangan orang biasa maupun selebriti lokal. Sebut saja, Salma, seorang penyanyi yang cukup terkenal yang sering mengisi acara di diskotikku selalu berusaha mendekati diriku, tetapi selama ini sikapku terhadapnya biasa-biasa saja. Malah aku sama sekali tidak merasa tersinggung dan sakit hati saat dia menyindirku dan mengatakan bahwa diriku banci!
Mulanya aku tak merasakan kalau apa yang kualami ini suatu hal yang serius. Tetapi pada suatu hari saat aku pulang dari menghadiri undangan resepsi pernikahan seorang karyawanku, aku mulai merasakan kalau ada sesuatu yang lain pada diriku. Mengapa aku belum juga menikah dan punya istri? Padahal aku merasa kalau aku ini lelaki normal. Bahkan dulu saat aku bekerja di Bakauheni aku sering kencan dengan perempuan jalanan. Dan juga aku sering mimpi basah dengan perempuan yang sering datang dalam mimpiku. Lantas kenapa aku jadi dingin terhadap lawan jenisku?
Pertanyaan inilah yang membawa aku ke Padang Cermin untuk menemui Ustadz Bermawi yang cukup terkenal memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni itu. Pada beliau aku menceritakan masalah yang kuhadapi. Setelah mendengar keluhanku itu, ustadz Bermawi meraih tanganku. Diperhatikannya dengan serius cincin yang melingkar di jari manisku.
"Sudah lama kau memakai cincin ini?" Tanyanya.
"Oh... Ini sudah cukup lama. Memang ada apa dengan cincin ini?" Tanyaku. Ustadz ganteng itu tidak menjawab pertanyaanku itu.
"Coba aku pinjam sebentar cincinmu. Sepertinya cincin ini ada isinya," kata ustadz Bermawi. Aku segera melepaskan cincin merah delima dari jari manisku dan menyerahkan pada ustadz Bermawi.
Setelah menerima cincin itu ustadz Bermawi masuk ke dalam kamarnya meninggalkan aku sendiri di ruang tamu. Tak lama kemudian dia muncul menemui aku.
"Rupanya cincinmu ini ada isinya. Makhluk yang menghuni cincin ini adalah jin perempuan yang selalu jatuh cinta pada pemiliknya. Karena itulah dia dengan sengaja membutakan mata dan hatimu agar kau tidak tertarik pada lawan jenismu, karena dia ingin terus menerus menguasai dirimu. Bahkan katanya suatu saat dia akan mawujud dan memintamu jadi suaminya."
"Ja... Jadi?"
"Terserah padamu apakah nanti kau bersedia jadi suaminya atau tidak. Jika kau bersedia, maka dia akan terus membuat hidupmu seperti saat ini. Tetapi jika kau menolak, maka dia akan menarik kembali semua harta yang telah kau miliki selama ini," ucap ustadz Bermawi.
"Jadi, pak ustadz. Apa yang harus aku lakukan?" Tanyaku penasaran. Ustadz Bermawi tidak segera menjawab. Cukup lama dia terdiam, lalu dia berkata dengan nada lembut.
"Maaf, semua ini aku serahkan pada dirimu. Aku tidak dapat memutuskannya karena ini menyangkut kehidupan pribadimu dan masa depanmu. Sebaiknya bermunajatlah pada Allah SWT agar kau diberi petunjukNya..."
Saati itu aku benar-benar bingung tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku seperti menghadapi buah simalakama. Sulit bagiku untuk menentukan pilihan. Terus terang aku tak mau terjerat dengan kenistaan, tetapi aku juga takut dengan kemiskinan.,Sengaja kupaparkan,catatan hitamku ini pada pembaca, semoga ada yang bisa membantu memberi jalan keluarnya. Amin.