Kamis Pahing, 21 November 2024
Warta berkisah, kala itu, Mpu Ramadi yang sedang membuat pusaka di puncak Gunung Jamurdipa diperintahkan untuk segera pindah. Maklum, Gunung Jamurdipa akan dipindahkan ke tengah-tengah Pulau Dawa yang selalu terombang-ambing oleh ganasnya gelombang lautan. Tetapi entah kenapa, walau para Dewa telah memintanya berulangkali tetapi Mpu Ramadi tetap saja menolaknya. Kesabaran para Dewa pun habis. Gunung Jampurdipa beserta seluruh isinya langsung dilempar ke tengah-tengah Pulau Dawa dan jatuh dalam keadaan terbalik. Mpu Ramadi pun dikabarkan pralaya pada kejadian itu. Dan menurut tutur yang berkembang, maka aktifnya gunung tersebut adalah berasal dari besalen (perapian; tempat menempa pusaka) Mpu Ramadi dan sekarang lebih dikenal dikenal dengan sebutan Gunung Merapi atau Gunung Chandramuka. Suatu gunung yang teraktif dan termisterius di dunia karena amat sulit ditebak karakternya.
Dan benar, sejak itu, Pulau Dawa pun menjadi tenang. Hingga pada suatu ketika, Bathara Guru pun memerintahkan Mpu Anggajali untuk membabar pusaka. Hasilnya sungguh memuaskan, sebilah Trisula. Bathara Guru pun puas. Mpu Anggajali dianugerahi negeri Surati, masuk dalam wilayah Hindi dan bergelar Prabu Iwasaka. Hingga pada suatu waktu, negeri Hindi terkena malapetaka karena Shang Hyang Guru mengaku sebagai Tuhan. Ia berhasil disimakan oleh Nabi Isa AS. Karena kalah, para Dewa pun menyingkir, tak terkecuali Mpu Anggajali. Karena negeri Surati kosong, maka, Pendeta Ngusmanji menyarankan Jaka Sengkala untuk menggantikan ayahnya menduduki tahta.
Pada tahun Hindu, zaman pancamakala menginjak 768, tahun Adam berangka 5154 tahun matahari dan 5206 tahun rembulan, kerajaan Jaka Sengkala yang bergelar Prabu Isaka atau Sang Aji Saka, diserang oleh musuh. Karena tak kuat menahan serangan yang demikian hebat, Prabu isaka pun terpaksa menyingkir ke hutan. Di pengungsian ini ia ditemui oleh ayahnya yang menyarankan agar ia pindah ke Pulau Dawa yang kala itu masih kosong. Pada abad ke-8 M, dari Mahameru, Aji Saka berpindah ke Nusa Barong, Nusa Tembini, Gunung Brama dan Gunung Sumbing dan pada tahun 152, Aji Saka pernah menetap di Pulau Dewata dan mengajarkan aksara Dewanagari.
Pada tahun 193, ia meninggalkan pulau Dewata dan mengelana ke Pulau Siwaka, Gunung Kendheng, Gunung Anyer dan mendirikan Candi Mulya. Dan pada rentang tahun 658, Aji Saka atau Abu Saka menyeberang ke Tanah Arab dan mukim di kota Balum. Dan pada tahun 659, ia meninggalkan Balum untuk menemui Nabi Khidir AS, selanjutnya menetap di Selan dan mengarang aksara Krendha. Tak cukup sampai di situ, pada tahun S65, ia menuju Keling dan mengajarkan sastra Sansekerta serta mengarang kitab Momana dan pada tahun 670 ia kembali ke Selan dan mengarang aksara Endradipa, Tunjungresmi dan Paramasastra.
Pengelanaannya terus berlanjut. Pada tahun 672 pindah ke kerajaan Singgela, tahun 768 menjadi raja di negeri Surati yang kemudian harus turun tahta, pergi ke pulau Dawa. Dan pada 808, ia pun merantau ke Lampung dan mukim di Sokadana. Di sini ia mengajarkan sastra Rimbangan atau Dentayanjana. Pada rentang 862 ia ke Jawa Barat, mukim di Ujung Kulon dan mengarang Candrasenga atau Candrageni. Di tempat ini Aji Saka menggunakan nama Bathara Adimurti.
Selanjutnya, pada 865 ia tinggal di Kabuyutan. Dan di antara sekian banyak karyanya, salah satunya adalah Kawi Dasanama. Pada tahun 867, Batahra Adimurti membuat berbagai macam senjata. Di antaranya adalah meriam, gender dan bendera juga menciptakan sebuah telaga keramat yang diberi nama Telaga Urip. Dan pada 870, Aji Saka kembali ke Pulau Dewata untuk mengajar para pendeta dan menyadur sastra Sansekerta. Baru pada tahun 895, Aji Saka mengelana ke Brang Wetan dan sampai di Pulau Majeti dan menjadi guru sastra di Danareja pada tahun 899.
Dan pada tahun 925, Aji Saka pun sampai di negera Medang Kamulan yang kala itu dikuasai oleh raja yang bemama Dewata Cengkar, sang manusia kanibal. Dengan berpura-pura menyerahkan din untuk menjadi santapan sang raja, sebelumnya, ia meminta tanah selebar ikat kepalanya. Tapi apa yang terjadi, setelah dibentangkan, luas ikat kepala itu melebihi luas negara Medang Kamulan bahkan hingga ke tepi laut. Walau dirinya telah berada di tepi laut dan diminta untuk menyerah tapi Dewata Cengkar tetap teguh pada pendiriannya. Ia lebih memilih menceburkan dirinya ke laut lepas ,ketimbang harus menyerah. Tapi apa yang terjadi? Ternyata, Dewata Cengkar tidak mati! Ia menjelma menjadi buaya putih raksasa dan membuat kerajaan baru bersama punggawa setianya di Laut Selatan. Di kerajaan barunya, Dewata Cengkar menikah dengan putri siluman yang bemama Dewi Angin-Angin. Bukan kebahagiaan yang direguk, ulah Dewata Cengkar yang kanibal itu membuat Dewi Angin-Angin menjadi resah dan galau. Akhirnya, Dewi Angin-Angin pun bersumpah, "Aku akan mengabdikan hidupku kepada siapa saja yang mampu membunuh Dewata Cengkar!".
Aji Saka langsung tanggap. Dengan bantuan putranya yang berujud Naga raksasa yang bemama Jaka Nginglung, Dewata Cengkar pun berhasil disimakan. yang akhirnya menampakan simbol dari perkawinan antara Merapi dengan Laut Selatan. Akhirnya, Aji Saka pun menjadi raja di Medang Kamulan dengan gelar Maha Prabu Joko atau yang lebih terkenal dengan sebutan Prabu Joko sedangkan nama kebesaran lainnya adalah Prabu Ginmurti. Dan pada rentang 1003, karena kekhilafan dua pembantu setianya, Dora dan Sembada, Aji Saka pun menciptakan aksara Jawa; Ha Na Ca Ra Ka, Da Ta Sa Wa La dan seterusnya. Kehidupan terus berlanjut. Pada rentang 1005, negara Medang Kamulan diserang habis-habisan oleh Prabu Daniswara. Agaknya, putra dari Dewata Cengkar dengan Dewi Angin-Angin ini ingin membalas dendam terhadap Aji Saka yang telah membununuh sang ayah.
Pertempuran sengit pun tak terhindarkan lagi. Sekali ini, bala tentara Aji Saka berhasil dipukul mundur. Dan ia pun terpaksa harus menyingkir ke puncak Merapi tempat tinggal eyangnya, Empu Ramadi (Empu Rama dan Empu Ramadi). Di tempat ini, ia moksa dan hidup di kerajaan gaib Gunung Merapi sebagai raja dengan gelar Prabu Joko. Sementara, Prabu Daniswara, naik tahta di Medang Kamulan dengan gelar Prabu Mapunggung atau Maha Pungaung. Pada rentang 1006, Gunung Merapi pun meletus dengan sangat dahsyat hingga mengubur sebagian besar wilayah Jawa Tengah. Konon, peristiwa yang dikenal dengan sebutan Pralaya Merapi, akibat banyaknya kematian di mana-mana adalah merupakan pembalasan Sang Aji Saka kepada Prabu Mapunggung. Saat itu, kota Yogyakarta dan sekitamya terkubur abu vulkanik hingga 6 meter lebih.