Kamis Pahing, 21 November 2024
Kecepatan mobil sedan yang dikendarai Bang Yan di tol Jakarta-Merak, 120 kilometer per-jam. Dua anakku, Dika dan Diki, tertidur lelap di jok belakang BMW seri tujuh milik kami. Sesampainya di kilometer 89, sebutlah begitu, ban sedan slip di jalanan yang licin. Kemudi yang dikendalikan Bang Yan, dibelokkan ke kanan, menghindari truk tronton yang jaraknya sangat dekat, hanya beberapa meter dari mobil kami. Namun di luar dugaan kami semua, kendaran buatan Eropa itu oleng, kemudian menabrak pagar pembatas tol. Mobil jungkir balik dan meledak. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi.
Begitu tersadar, aku sudah berada dalam kamar perawatan UGD rumah sakit Sentra Medika Utama, Serang, Banten. Seorang perawat berbisik bahwa aku mengalami kecelakaan laiu lintas berat dan patah tulang kaki, luka-luka di bagian kepala dan bahu yang remuk. Pada saat aku menanyakan dua anakku, Dika dan Diki serta suamiku, Yan Hastowardoyo, sang perawat menggeleng. "Bagaimana suami dan dua anakku suster? Mereka dirawat di mana?" tanyaku, mendesaknya. Dengan wajah gundah gulana dan raut muka yang getir, Suster Tina Asmara, meneteskan airmata dan meminta aku bersabar. "Di mana mereka suster?" tekanku, dengan suara diusahakan mengeras, walau saat aku mengeluarkan kata-kata itu, ada rasa sakit di tenggorokanku, "Maaf Ibu, saya tidak berani mengatakannya, biarlah nanti ibu akan tahu sendiri bagaimana keadaan mereka!" desis Sang Perawat, sambil menghapus airmatanya yang tumpah.
Dari suster lain, aku lalu mendapatkan berita yang sangat tidak menyenangkan itu. Ternyata suami dan dua anakku sudah meninggal dunia, mereka tidak bisa diselamatkan dan sekarang berada di kamar mayat rumah sakit Sentra Medika Utama. Jantungku berdebar hebat dan kepalaku terasa berat bagaikan tertimpa batu. Setelah itu, aku tidak sadarkan diri untuk kedua kalinya. Pada saat tidak sadarkan diri itu, tiba-tiba aku merasakan bahwa rohku keluar dari jasadku dan jiwaku terbang ke luar ruang UGD lalu mencari suami dan dua anakku di kamar mayat. Saat itu aku merasakan udara yang sangat dingin, lembab dan sangat menggigit. Aku terbang melalui lorong-lorong rumah sakit, masuk ke koridor dan berjalan menuruni anak tangga demi anak tangga, lalu berhasil menemukan kamar mayat. Sebuah kamar penyimpanan jenazah dengan box pendidngin dan aku masuk ke dalamnya. Aku bertemu dengan jenazah Mas Yan, jenazah Diki dan Dika yang sudah menjadi kaku. Aku merasakan saat itu aku menangis, menjerit dan berteriak memanggil-manggil nama dua anakku dan nama Bang Yan, suamiku yang sudah kaku di dalam lemari pendingin.
Aku tidak dapat mendengarkan suara apa-apa di kamar mayat. Semua jenazah terbujur kaku, begitu juga dengan Bang Yan dan dua anakku. Setelah aku menciumi ketiga orang yang sangat aku cintai itu, tiba-tiba aku mendengar suara nyaring datangnya dari atas. Suara itu berteriak memanggil namaku. "Arlita, Bang Yan di sini, kemarilah kau sayangku!" bunyi suara itu. Belum sempat aku membalas panggilan Bang Yan, suara dua anakku juga dengan keras memanggil aku. "Mama, Mama, aku dan Diki ada di sini Ma, datanglah ke sini,Ma!" kata Dika, lantang dan tajam. Suara itu hanya suara. Aku tidak dapat melihat di mana mereka. Hanya suara yang mengiang dan sangat tajam menyentuh saringan telingaku. Bola mataku terasa berputar, terus mencari sumber suara untuk dapat melihat sosok orang-orang yang memanggilku. Aku memperhatikan setiap pojok, beberapa sudut rumah sakit dan alam di sekitarnya. "Mama, Mama, kami disini, Mama, lihatlah, kami bertiga di sini!" teriak Diki, kepadaku. Setelah itu, suara Bang Yang dan suara Dika saling bergantian memanggilku.
Beberapa saat kemudian, aku keluar pintu kamar mayat. Aku melewati penjaga kamar mayat itu tanpa terlihat oleh mereka sama sekali. Aku dapat melihat semua orang di rumah sakit, tapi mereka tidak dapat melihat aku. Pikirku, saat itu, aku sudah menjadi makhluk gaib, ujudku tidak terlihat sementara rohku melayang-layang melihat semua orang yang hidup. Sementara, bila aku masuk ke daerah hampa udara, udara kosong, aku bagaikan tersandung dan sempat terjatuh beberapa detik. Begitu ke luar kamar mayat, aku terbang menghirup udara luar menuju sebuah pohon besar di sebelah barat rumah sakit. Sebuah pohon mahoni raksasa, menjulang tinggi dengan dedaunan rimbun. Duh Gusti, di sanalah aku dapat menemukan dua anakku dan suamiku Bang Yan, dalam wujudnya mereka yang utuh. Kami lalu berpelukan dan saling menangisi peristiwa yang baru saja kami alami dengan tragis. Sebuah kecelakaan maut di jalan tol Jakarta-Merak yang telah menelan tiga nyawa! "Malaikat sudah mencabut nyawa kami Ma, kami sudah meninggal dunia dan kami akan pergi ke alam barzah, alam gaib kekuasaan Allah.
Sementara Mama, hanya mati suri, hanya koma, dan Mama akan kembali lagi ke alam manusia, akan berpisah dengan kami untuk selama-lamanya," bisik suamiku, Bang Yan, getir dan aku seakan merasakan dia menangis. Akupun merasakan memeluk kedua anakku dan aku pun menangis tersedu. Setelah beberapa saat bersama, suami dan dua anakku terbang ke angkasa biru meninggalkan aku sendirian di pohon mahoni. Lalu, aku melambaikan tangan perpisahan dengan mereka dan mereka pun, melambaikan tangan kepadaku. Mereka lalu terbang, pergi jauh dan jauh sekali entah di mana berhenti dan singgahnya.
Beberapa saat kemudian, aku seakan dipanggil ke jasadku dan menyatu lagi. Sebelumnya, aku melihat tim dokter sibuk mengoperasi kepalaku dan bahuku yang remuk serta kakiku yang patah. Tubuhku penuh perban, balutan kain kasa dan obat-obatan penahan sakit. Beberapa saat kemudian, aku tersadar dan aku kembali menjadi manusia yang utuh, lengkap dan dokter memberiku selamat. Setelah beberapa bulan aku dirawat di rumah sakit, aku pun diperbolehkan pulang. Tapi, perasaan kesepian, kesendirian dan kegalauan, bertubi-tubi menyambangi hidupku. Aku merasa begitu sepi, letih, lelah setelah kehilangan tiga orang yang tercinta dalam suatu tragedi kecelakaan lalu lintas yang ganas.
Di dalam rumahku yang besar di Bandung, aku kini tinggal hanya dengan pembantu kami, Marni. Aku melupakan kesedihan ditinggal orang-orang tercinta itu, dengan sikap sabar, tawakkal dan terus berserah diri kepada Allah Azza Wajalla. Kepergian tiga orang terkasih itu, sebagai batu ujian berat dan terberat di dalam hidupku dan aku harus kuat menghadapinya. Tidak ada cara lain, selain bergantung kepada Allah, Tuhanku yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Pada saat upacara pemakaman suami dan dua anakku, aku tidak dapat melihat karena aku berada di rumah sakit. Namun anehnya, rohku seakan pergi ke tempat pemakaman di Cikutra, Bandung, dan aku seakan melihat jenazah ketiganya dikubur dan aku ikut berdoa di tengah orang-orang yang melayat.
Malam harinya, rohku juga pergi dari tubuhku, lalu aku ikut di dalam tahlil dan membaca surat Yasin di dalam acara hingga selama seminggu, tujuh hari. Pada saat tahlil ke 40 hari, barulah secara fisik aku ikut, aku yang sudah sehat secara fisik, berada di tengah kebanyakan tetangga, keluarga untuk turut serta mendoakan suami dan dua anakku. Semua teman-temanku datang di malam empat puluh hari itu. Begitu juga dengan sanak famili, keluarga serta para tetangga kiri kanan rumah. Semua orang prihatin melihat dan mensiasati tragedi besar itu, semua ikut menangisi bagaimana perasaanku yang ditinggal orang-orang terdekat itu, semua prihatin akan derita batinku, prihatin akan duka jiwaku dan prihatin akan gundah gulana yang aku temui.
Setelah sekian puluh tahun aku hidup sendiri, banyak lelaki yang datang kepadaku dan berkeinginan untuk meminangku. Tapi, karena kesetiaan, karena rasa kasih sayang dan karena cintaku yang begitu besar kepada Bang Yan, maka aku menolak semua lamaran itu. Bahkan, aku berjanji kepada keluarga besarku, kepada ayah dan ibuku, bahwa aku tidak akan menikah lagi selamanya. Biarkanlah aku hidup sendiri, menyendiri dan tidak bersuami lagi. Sebab apa, sebab Bang Yan masih datang kepadaku dan aku dapat menemui dia setiap saat bersama dua anakku, Diki dan Dika, di suatu tempat yang sangat tertutup dan rahasia, dan aku tidak tahu di mana tempat itu adanya.
Hingga saat ini, walau sudah puluhan tahun suami dan dua anakku wafat, tapi ajaibnya, aku dapat menyetel diriku di tengah malam, pukul 24.00 setelah sembahyang tahajut, lalu terbang ke suatu tempat tertentu dan aku dapat berjumpa dengan mereka. Setiap kali aku merindukan Diki, Dika dan Bang Yan, aku lalu memusatkan konsentrasiku kepada mereka di suatu tempat, yang aku lakukan di kamar tertutup dalam rumahku di Bandung. Dengan menutup mata dan melepaskan kesadaranku, aku keluar dari tubuhku yang tengah bersila, lalu aku terbang melayang ke luar rumah, untuk menemukan mereka di suatu alam rahasia, alam yang aku tidak tahu di rnana adanya dan hanya Allah Yang Maha Agung lah yang tahu, lalu aku dapat bercengkrama dan kangen-kangenan. Biasanya, jarak pertemuan itu aku lakukan adalah satu bulan satu kali, yaitu terjadi di setiap malam keramat, yaitu malam yang wingit, pada malam Jumat kliwon.
Pada setiap bulan, ada satu malam malam Jumat kliwon dan saat itulah aku tidak membuat acara apapun, selain masuk kamar ritual dan bertemu dengan suami dan anak-anakku. Kenyataan ini sangat musykil dan tidak logis. Hal ini pasti membuat orang meragukan dan tidak mempercayainya. Tapi jujur saja, aku tidak butuh pengakuan, tidak butuh dipercaya dan tidak butuh diiyakan. Yang aku butuhkan adalah saat-saat rahasia itu terjadi, dan aku meminta kepada Allah hal ini agar dapat aku lakukan hingga akhir hayatku. Sebelum bercerita pada seseorang penulis ini, aku tidak mau dan tidak akan bercerita kepada siapapun. Hal ini menjadi rahasia pribadiku, biarlah menjadi privasiku, menjadi masalahku yang super tertutup dan dipantangkan untuk diketahui oleh umum. Aku juga tidak butuh dipercayai oleh siapapun, termasuk orang terdekatku, ayah dan ibu, yang hingga saat ini tidak pernah bertanya dan tidak juga aku ceritakan pada mereka.
Pekan lalu, aku kedatangan seseorang yang dengan gigih memancingku, seperti mengemis meminta ceritaku ini, dan akupun lalu dengan sangat terpaksa menceritakannya. Cuma, aku sangat berharap, agar nama, tempat dan peristiwa itu disamarkan. Dan yang paling penting, tidak mengunakan fotoku dan foto keluargaku, termasuk suamiku Bang Yan dan dua anakku, Diki dan Dika. Dengan pertimbangan mungkin ada gunanya bagi orang lain, sebagai sebuah cerita misteri, maka aku pun dengan sukarela menceritakan hal ini dan kuharap kisah ini bisa menjadi peiajaran bagi banyak orang. Maksudnya, di luar kebiasaan yang ada, ada suatu kejadian luar biasa dan langka dialami manusia, lalu kebetulan, hal itu aku yang mengalaminya.
Dalam batinku, saat ini, mungkin banyak orang lain yang juga mengalami sebagaimana hal yang saya alami. Buktinya, dalam suatu buku terbitan Inggris, aku juga membaca tentang pengalaman hidup seorang wanita yang ditinggal mati lima anak dan suaminya, juga bisa bertemu pada waktu-waktu tertentu di suatu tempat. Sama persis dengan apa yang aku lakukan. Wanita bernama Karen Julie Rainsha di Derby, Inggeris Utara itu, setiap bulan di kamar gelapnya, dia terbang meninggalkan jasat lalu bertemu dengan suami dan Iima anaknya di suatu tempat tertentu. Tempat itu, juga tidak diketahui di mana dan adanya di daerah mana. Pengalaman supranatural ini, disebut di buku itu sebagai astral projection, semacam ilmu pecah jiwa, ilmu keluar dari jasad dan terbang melayang menuju alam Nirwana. Lalu, karena belum mati klinis, belum mati total, maka roh kembali ke bumi mencari jasadnya dan bersatu kembali sebagaimana manusia biasa.
Belakangan, aku bekerja sebagai pemain bursa efek, bursa saham dan bursa index di BEJ, Jakarta. llmu indera ke enamku yang tajam, Alhamdulillah, banyak bermanfaat bagi teman-teman. Kebetulan, ketajaman indera ke enamku dianggap handal karena pengalaman bertemu roh itu. Aku sangat tahu saat harus membeli saham, mana saat menjual saham, hingga keuntungan materi cukup banyak digenggam oleh teman-teman pemain di BEJ. Walau memang tidak kaya, karena memang aku tidak boleh kaya, tapi kami semua, satu tim, sangat solid dan cukup memetik keuntungan besar dari hasil bermain di BEJ ini. Bahkan, beberapa investor besar, berebut mau meminang aku sebagai mitra usaha. Tapi, aku menghindar, sebab, semua penjual saham, juga pialang saham yang ada, akan bangkrut total bila hal ini aku terima. Aku pun meminta maaf kepada banyak teman di bursa effek dan memohon agar aku tidak dipaksa untuk menerima tawaran kerjasama itu.