Selasa Legi, 5 November 2024
Tak ada yang bisa memungkiri, Riau adalah salah satu provinsi yang memiliki kekayaan budaya yang tak boleh di pandang dengan sebelah mata. Dan salah satu yang paling menonjol adalah seni tari. Boleh dikata, tiap daerah bahkan suku memiliki gerakan tari yang berbeda antara satu dengan lainnya. Yang paling menarik adalah tari Olang-olang.
Menurut tutur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, tarian ini sangat digemari oleh puak Melayu Sakai di kabupaten Bengkalis, Riau. Masyarakat Melayu Sakai mempercayai, tarian ini lahir dari kisah kasih seorang pemuda dengan seorang gadis jelita dari kayangan yang sangat pandai menari. Namun takdir berkehendak lain. Jalinan kasih itu terpaksa putus karena si jelita melanggar pantangan yang telah mereka sepakati. Dan berikut adalah kisah kasih tersebut...
Di zaman antah berantah, di tanah Bengkalis, hidup seorang pemuda miskin yang bemama Bujang Enok. Walau sebatang kara, namun, ia adalah pemuda yang baik dan murah hati. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, ia mencari kayu api di hutan untuk dijual atau ditukarkan dengan segala keperluannya. Pada suatu pagi, ketika hendak mencari kayu di hutan, Bujang Enok dihadang seekor ular berbisa.
"Sssh sssh ...", ular itu mendesis sambil menjulur-julurkan lidahnya ke arah Bujang Enok. Sejenak pemuda ini terdiam dan berusaha menghindar. Tapi apa daya, ular itu terus saja memburu bahkan beberapa kali memagutnya. Akhimya, dengan sangat terpaksa, Bujang Enok pun melecutnya dengan semambu (tongkat rotan-red), pusaka peninggalan almarhum ayahnya. Dengan sekali lecut, ular itu pun menggeliat lalu mati. Dan setelah didiamkan beberapa saat, lalu, Bujang Enok pun segera menggali lubang dan menguburkan bangkai ular tadi di pinggir jalan.
Setelah beberapa saat beristirahat, ia pun mulai mengumpulkan kayu api. Di tengah-tengah itu, lamat-lamat, ia mendengar suara perempuan sedang bercakap-cakap.
"Ular berbisa itu telah mati", kata suara perempuan dari arah lubuk di hulu sungai.
"Syukurlah, kita tidak akan diganggu ular itu lagi", sahut suara yang lainnya.
Makin lama, percakapan dan sesekali sendagurau makin jelas terdengar olehnya. Namun, Bujang Enok tak menghiraukan suara-suara tersebut, ia terus saja asyik melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan kayu api. Saat tengah hari, seperti biasa, Bujang Enok pun pulang. Dan ketika ia masuk ke dapur pondoknya, hatinya langsung tercekat. Betapa tidak, kini, di dapurnya telah tersedia nasi dengan segala lauk yang lezat. Karena lapar yang tak tertahankan, tanpa berpikir panjang, ia pun langsung melahap semua hidangan yang tersaji itu sampai tandas.
Sambil makan, Bujang Enok pun bertanya-tanya dalam hati. "Ibuku sudah lama meninggal, aku juga tak punya saudara, bahkan, rumah tetangga pun sangat jauh dari sini. Lalu, siapa yang berbaik hati mengirimkan makanan ini?".
Walau pertanyaan itu terus saja melingkar-lingkar dalam benaknya, tapi, tetap saja ia tak mampu mendapatkan jawabnya. Karena penasaran, akhimya, Bujang Enok pun berusaha mencari tahu siapa gerangan yang telah menghidangkan makanan itu. Esoknya, ia memutuskan untuk tidak pergi ke hutan. Ya hari itu, Bujang Enok sengaja menunggu tamu tak diundang di antara semak-semak yang tumbuh subur tak jauh dari pondoknya. Menjelang tengah hari, tiba-tiba, dari arah lubuk tampak tujuh gadis jelita mengenakan selendang berwama pelangi berjalan beriring-iringan sambil menjunjung hidangan masuk ke dalam pondoknya namun, yang tercantik adalah yang mengenakan selendang berwama jingga.
"Amboi cantik nian gadis yang mengenakan selendang jingga itu?" Bisik hati Bujang Enok sambil mengawasi ke tujuh gadis itu sampai mereka hilang di balik tepas bambu pondoknya.
Dan tak lama kemudian, mereka telah ke luar dan berjalan dengan gemulai ke arah lubuk di hulu sungai. Dengan hati-hati, Bujang Enok pun membuntuti dan bersembunyi di rimbunan semak-semak di pinggir lubuk di hulu sungai itu. Dari balik semak-semak itu, ia dapat melihat melihat ke tujuh gadis itu tengah melucuti pakaiannya. Masing-masing menyangkutkan selendangnya pada sebatang ranting. Setelah itu, mereka pun dengan riang bersimbur di lubuk.
Karena asyiknya, mereka tak pemah menyangka jika ada sepasang mata yang tengah mengawasi segala gerak-geriknya dan saat mereka lengah, dengan bantuan sebatang ranting, Bujang Enok pun berhasil mengambil selendang berwama jingga dan langsung menyembunyikan di balik bajunya. Waktu terus berlalu, setelah selesai mandi, ke tujuh gadis itupun naik ke tepi lubuk untuk mengeringkan tubuhnya lalu mengambil dan mengenakan selendangnya masing-masing yang tergantung di ranting. Namun, satu di antaranya tampak gelisah.
"Kemana selendangku?" Tanyanya sambil terus mencari-cari di balik rerimbunan semak.
Tak ada jawaban yang terdengar. Ke enam sahabatnya hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Ke tujuh gadis itu lalu melanjutkan pencariannya tapi apa daya, selendang jingga itu seolah raib ditelan bumi. Saat menjelang sore, keenam gadis yang telah mengenakan selendang, tiba-tiba menari dan kemudian melayang-layang ke angkasa meninggalkan gadis yang kehilangan selendangnya seorang diri di tepian lubuk. Di balik tempat persembunyiannya, Bujang Enok hanya tergugu menyaksikan peristiwa yang baru sekali ini dilihatnya ia terus saja memandangi keenam gadis dengan tanpa berkedip sedikit pun. Sampai akhimya mereka menghilang dari pandangannya. Setelah itu, Bujang Enok keluar dari persembunyiannya dan menghampiri gadis yang sedang mencari-cari selendangnya.
"Apa yang kau cari wahai gadis cantik?" Tanya Bujang Enok.
"Apabila tuan mengetahui selendang berwama jingga, maka, hamba mohon kembalikanlah selendang itu," pinta sang gadis sambil menyembah.
Bujang Enok menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata : "Saya bersedia mengembalikan tetapi dengan syarat, tuan putri harus bersedia menikah dengan saya," kata Bujang Enok.
"Ya, saya bersedia, asalkan tuan sanggup berjanji pula. Apabila saya terpaksa harus menari, maka, kita pun akan bercerai kasih," sahut sang jelita itu dengan tulus.
"Baik saya bersedia mengingat janji itu. Nama saya Bujang Enok," janji Bujang Enok sambil memperkenalkan diri.
"Nama saya Mambang Linau," sahut si jelita itu membalasnya.
Sejak saat itu, keduanya menjalin kasih dalam bahtera rumah tangga. Kini, keduanya hidup dengan bahagia, rukun dan berkecukupan. Sejak menikah, kemurahan Bujang Enok makin terkenal di kampungnya. Bahkan, raja yang berkuasa di negeri itupun sampai mendengarnya. Tak pelak, raja pun langsung memanggil Bujang Enok untuk diangkat menjadi Batin (Kepala Kampung) di kampung Petalangan. Dan sejak itu, ia pun menjadi salah seorang kepercayaan raja. Boleh dikata, tiap ada perhelatan di istana, Bujang Enok selalu ada di tengah-tengah keluarga kerajaan. Hingga pada suatu ketika, perhelatan sekali ini mewajibkan tiap dayang, istri pembesar istana, istri para penghulu dan kepercayaan raja, termasuk Putri Mambang Linau untuk mempersembahkan sebuah tarian kepada raja. Ketika acara dimulai, maka, mereka pun menunjukkan kebolehannya di depan raja Putri Mambang Linau pun tampak gelisah. Betapa tidak, ia teringat dengan janji suarninya.
"Jika aku ikut menari, berarti kita akan bercerai kasih kanda," bisiknya kepada Bujang Enok.
Belum lagi sempat dijawab, terdengar suara raja diiringi dengan tepuk tangan semua yang hadir,
"Kini, kami persilahkan Putri Mambang Linau!"
Hati Putri Mambang Linau langsung berdebar kencang. Beberapa detik kemudian, terdengar bisik suaminya memberi semangat,
"Adinda, kakanda menjunjung tinggi titah raja."
Putri Mambang Linau mengangguk sambil berbisik dan mengenakan selendang berwama jingga, "Demi menjunjung titah raja dan rasa syukur atas tuah negeri, saya bersedia menari."
Ia pun kemudian berjalan menuju pentas. Untuk menjaga tata kesopanan dalam istana dan menghormati sang raja, sebelum mulai menari, terlebih dahulu Putri Mambang Linau melakukan gerakan-gerakan persembahan. Setelah itu, ia pun mulai menari bak seekor burung elang. Sesekali ia melambaikan selendang sambil mengepak-ngepakkannya, dan perlahan-lahan kakinya diangkat seperti tak berpijak di bumi. Kemudian, seiring dengan Putri Mambang Linau meliukkan badannya, seketika itu juga, ia pun terbang melayang, membubung ke angkasa menuju kayangan.
Semua yang hadir tergugu. Ya sejak itu, Putri Mambang Linau tidak pemah kembali lagi. Dan Bujang Enok pun telah bercerai kasih dengan istrinya. Putri Mambang Linau. Atas pengobanannya itu, Bujang Enok pun dianugerahi kehormatan untuk menjadi penghulu yang berkuasa di istana. Tak hanya itu, pengorbanan tersebut juga melahirkan selarik pantun yang berbunyi : Ambillah seulas si buah limau, Coba cicipi di ujung-ujung sekali, Sudahlah pergi si Mambang Linau, Hamba sendin menjunjung duli.
Bahkan, pengorbanan itu telah membuat raja negeri mengeluarkan titah agar tTiap tahun harus diadakan tarian persembahan Karena tarian yang mengisahkan Putri Mambang Linau sejak pertemuan sampai perpisahannya dengan Bujang Enok menyerupai burung elang yang sedang melayang (elang babegar), maka, tarian itupun dinamakan Tarian Elang-Elang. Dan entah siapa yang memulainya, kini, masyarakat Riau lebih senang menyebutnya sebagai Tari Olang-Olang.