Selasa Legi, 5 November 2024
Senja merangkak menuju malam. Matahari menguning tenggelam di ufuk barat. Angin kencang menggoyang pepohonan di sekitar pemakaman. Beberapa saat kemudian, mendung menggantung tipis pada separuh langit. Hujan rintik-rintik turun membasahi bumi tempatku berpijak. Beragam suara hewan hutan terdengar menguak kebisuan malam. Gerungan auman harimau kumbang samar-samar kudengar, ditingkahi suara kutilang yang pulang memasuki sarang. Hari itu aku berada di hutan linggis bunto, suatu kawasan hutan yang sangat lebat di Nusa Tenggara Barat.
Pada saat aku selesai wisuda sebagai sarjana ekonomi dari Universitas Udayana Bali, aku langsung pulang kampung dan melamar kerja pada hotel milik Aji Mangko. Setelah melewati test yang cukup berbelit aku diterima kerja pada salah satu dari 10 hotelnya yang ada di Senggigih Beach, Lombok Barat. Aku ditempatkan di hotel Gili-Gili yang berbintang dua, dekat kampung Bukit Karang. Di hotel ini aku ditempatkan di bagian staf divisi keuangan, satu job yang sesuai dengan gelar kesarjanaan ekonomi yang kudapatkan. Di hotel milik Aji Mangko ini aku mendapatkan pengalaman yang sangat banyak. Selain bidang manajemen, tapi aku juga dapat pengalaman mengenal banyak orang asing, terutama dari Eropa Barat dan Timur yang berkunjung rutin setiap tahun ke Lombok. Bahasa inggris, Perancis dan Belanda ku makin lama makin lancar karena sangat aktif digunakan.
Sementara itu, Ibu Norma Ajani, 48 tahun, adik bungsu Aji Mangko, big boss ku di Belanda yang dipercaya sebagai general manager Hotel Gili-Gili, sangat baik kepadaku. Bahkan ibu Norma Anjani berjanji akan mempromosikan aku pada Aji Mangko bila dia datang lebaran nanti. Aku akan dipromosikan supaya menjadi salah seorang manager hotel Gili-Gili yang ada di Jakarta. Sebagai sesama wanita, Ibu Norma Anjani banyak mencurahkan perhatiannya secara pribadi padaku. Sampai soal pasangan hiduppun, Bu Norma Anjani mempedulikanku. Dia bertanya tentang kesendirianku di umur hampir 26 tahun. Kenapa aku tidak punya pacar sampai sekarang dan kenapa tak mau menikah. Saya katakan bahwa saya punya tanggung jawab besar pada adik-adik yang berjumlah sembilan orang, juga pada ayah dan ibuku yang sudah tua tidak berdaya lagi. Akhirnya Bu Norma memahami mengapa aku memilih hidup sendiri dan menolak banyak pria yang ingin mendekatiku.
"Saya salut sama kamu, wanita yang rela berkorban untuk keluarga besar. Jarang ada wanita setangguh dan sebijak kamu!" puji Bu Norma Anjani, yang kusambut dengan malu-malu.
Pada saat bulan ramadhan tahun lalu, lima hari sebelum Hari Raya Idul Fitri, Aji Mangko benar-benar datang ke Lombok. Saya diajak Bu Norma Anjani untuk menyambut Beliau di bandara Selaparang, Mataram dengan pesawat Garuda Boeing 737 dari bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Kami berdua duduk di ruang tunggu sambil memegang minuman dingin orange juice dalam botol, plastik. Pesawat yang ditunggu ternyata agak terlambat datang Karena harus transit di bandara Ngurah Rai Bali dan diundur sampai 20 menit karena faktor cuaca buruk. Pukul 13.45 pesawat turun landas di pacuan barat dengan kecepatan 200 km per-jam dan berhenti tepat di depan terminal kedatangan tempat kami menunggu. Bu Norma Anjani mengajakku berdiri di kaca bandara untuk melihat kearah pesawat Garuda yang bewarna putih dengan tulisan biru itu.
"Saya masih mengenali abang saya dengan jelas walau dari jarak 500 meter seperti sekarang ini!" kata Bu Norma Anjani padaku.
Aku hanya tersenyum menyaksikan wajah Bu Norma Anjani yang sumringah menunggu abangnya dari Belanda itu. Mulanya yang turun dari bagian belakang pesawat itu adalah turis-turis asing yang berpakaian santai, celana pendek dan kaos kutang. Setelah itu barisan ibu-ibu berjilbab dan bapak-bapak yang berpakaian batik.
"Mana Bu, Pak Aji Mangko itu?" celetukku, impulsif, karena didorong dan didesak oleh rasa penasaran.
"Tenang, Rina, tenang, sebentar lagi dia keluar, jawab Bu Norma, santai.
Benar saja, dalam hitungan detik setelah berkata begitu, seorang pria berjas putih, kacamata hitam, rambut putih, celana putih dan bersepatu putih turun menjinjing tas louis vitton putih pula.
"Nah itu dia Abangku turun!" pekik Bu Norma Anjani seperti anak-anak.
Aku tersentak beberapa saat melihat seseorang yang dimaksud Bu Norma Anjani. Pria setengah umur yang terlihat sangat tampan, bertubuh atletis dan berbusana trendy pula. Semua pakaiannya serba putih, rambutnya putih karena uban dan tali jam tangan serta frame kacamatanya pun, semuanya putih.
"Wauw, bergaya benar itu bapak-bapak!" batinku.
Kami menyambut Pak Aji Mangko di koridor utama. Aji Mangko terus menyergap adiknya Norma Anjani dan menggendongnya seperti anak-anak. Berbolak-balik Bu Norma diciumi pipi dan dipeluknya dengan erat. Bu Norma pun memeluk abangnya itu dengan erat dan menciumi rambutnya yang semuanya beruban. Ada perasaan bangga dalam batinku melihat ada seorang tokoh asal Lombok yang begitu ganteng dan bisa kaya raya di negeri Eropa Barat. Bangga pula melihat seorang adik kakak yang saling menyayangi dan sangat saling merindukan. Akupun, pikirku, jika berpisah dengan adik-adikku akan seperti itu kelak. Aku sangat menyayangi adik-adikku dengan tulus dan sepenuh hatiku. Setelah puas berpelukan dengan adiknya, Bu Norma memperkenalkan aku pada Aji Mangko.
"Ini Bang, Rina Hanan, staf keuangan Gili-Gili Hotel yang aku ceritakan di telepon pada Abang, karyawan kita yang punya dedikasi dan potensi besar ke depan untuk mengelola hotel-hotel Abang di Jakarta. Rina, ini abangku, boss besar mu, Aji Mangko!" desis Bu Norma Anjani, sambil berganti melirik padaku dan pada abangnya.
"Ow, ini dia Rina Hanan yang sering aku dengar di Belanda. Waou, dia wanita luar biasa, selain dia sangat cantik, tapi juga dia nampak terlihat secara mistik sangat cerdas sekali. Matanya memancarkan aura positif yang luar biasa! Dia punya energi chi fengshui-hongshui yang berakar sekali dalam dirinya!" celetuknya, mengalir deras dari bibirnya yang kebiruan karena banyak merokok.
Saat aku menjabat tangannya yang kekar, tanganku ditarik dan Aji Mangko mendekatkan mukanya ke mukaku. Jantungku berdebar hebat saat dia mencium keningku dengan lembut.
"Maaf Rina, Abangku pakai gaya Belanda, jangan marah dan jangan kaget ya?" terang Bu Norma Anjani.
Aku berusaha menutupi rasa kagetku dengan berusaha tersenyum kepada Bu Rina dan Pak Aji Mangko. Sebelum sempat aku mengucapkan terima kasih atas pujian yang sangat menyanjungku itu, Aji Mangko langsung mengajak kami ke mobil yang siap menjemput Aji Mangko dan disetir oleh Bang Hardi sopir Bu Norma Anjani di halaman parkir bandara. Di dalam mobil Aji Mangko langsung mengajak Bu Norma ke restoran Ayam Taliwang, restoran ayam goreng khas Nusa Tenggara Barat yang ada di pertigaan taman Cakranegara.
"Saya kebetulan lapar sekali dan sudah lama tidak menikmati ayam Taliwang. Di Belanda tidak ada restoran Indonesia yang bagus dan enak dalam hal memasak ayam Taliwang. Ada satu restoran yang enak tapi agak jauh tempatnya, yaitu di Port Rotterdam, restoran milik artis Indonesia Rima Melati yang tetap cantik di umurnya yang setua itu.
"Bapak kenal artis Rima Melati?"tanyaku, agak lancang.
"Siapa orang Belanda yang tidak kenal Rima Melati. Selain dia punya banyak usaha di Belanda, dia juga artis di sana, beberapa kali dia main di film-film televisi Belanda dan juga sering diwawancara oleh televisi Nerderland baik dia sebagai artis maupun sebagai pengusaha wanita, terang Aji Mangko.
Di jalan Diponegoro Mataram, tiba-tiba sedan Mercy 300 A milik Bu Norma dihentikan oleh Aji Mangko. Bahu Pak Hardi ditepuk di suruh minggir ke sebelah kiri. Ternyata Aji Mangko melihat beberapa orang pengemis, pemulung dan tukang ojek mangkal di sebuah taman kota. Pak Hardi diminta turun bersama dia untuk mencari bis yang membawa semua orang kecil itu ke rumah makan Ayam Taliwang di Cakranegara. Satu bus disewa dan cukup untuk mengangkut para tuna wisma, pemulung dan pemulung di taman itu. Sedangkan para tukang ojek disuruh membuntuti bis itu menuju restoran mewah di Cakranegara itu.
Pemilik restoran, Haji Lalu Mujitahit menyambut girang kehadiran Aji Mangko dan para orang kecil satu bis dan rombongan puluhan tukang ojek yang akan makan di restorannya. Haji Lalu Mujitahit ternyata sejak dulu sudah mengenal Aji Mangko dan pengagum berat. Saat berpelukan dengan Aji Mangko, Haji Lalu Mujitahit sampai meneteskan airmata. Kepada kami semua, Haji Lalu Mujitahit menyebut bahwa sejak dulu Aji Mangko selalu mengajak orang miskin makan di restoran mewah miliknya itu. Setelah makan, semua tamunya itu diberi uang dan pulang dalam keadaan kenyang juga gembira. Jumlah uang yang diberi tidak kecil, malah bisa untuk dijadikan modal dagang. Bahkan beberapa orang pemulung sudah menjadi bos barang bekas sejak diberi uang modal oleh Aji Mangko beberapa puluh tahun lalu.
Habis bersantap siang, benar saja, semua warga miskin itu diberi uang oleh Aji Mangko. Dalam tas louis vitton warna putih yang dijinjingnya semuanya penuh uang pecahan seratus ribuan dan masing-masing orang diberi satu juta rupiah. Bahkan untuk orangtua dan adik-adikku, Aji Mangko memberikan uang berjumlah mengagetkan, Rp 50 juta untuk modal ayahku beternak bebek. Memang di belakang ada sawah yang sangat layak untuk ternak bebek dan ayahku memimpikan lama untuk dapat modal beternak itu.
Setelah aku kembali ke kantor, Aji Mangko dan Bu Norma bepergian berdua. Mereka nampak pergi ke semua keluarga yang harus didatangi Aji Mangko, terutama ibunya yang sudah tua di Praya, Lombok Tengah dan pamannya, Haji Harun Somad di Selong, Lombok Timur. Di tengah banyak orang mengatakan bahwa Aji Mangko adalah bandit besar di Eropa, aku nyaris tak percaya kalau hal itu benar adanya. Saya melihat Aji Mangko sangat baik, santun, sopan dan berjiwa sosial yang sangat tinggi, jauh dari kesan bahwa dia seorang bromocorah yang dimaksud selama ini.
Saya pikir Pak Kamil Ahmad, benar juga mengatakan bahwa tidak boleh berprasangka buruk pada orang lain sebelum memegang bukti-bukti dan fakta bahwa orang itu memang buruk seperti yang disangkakan. lya kalau orang itu benar-benar buruk, tapi kalau ternyata dia bekerja di jalan baik-baik, bagaimana? Dosa kan bagi mereka yang berprasangka buruk tadi? Begitulah pikirku tentang Aji Mangko, boss besarku yang sangat wisdom itu. Pada malam Jumat akhir oktober 2003 aku dipanggil Bu Norma Anjani ke rumahnya. Di sana ternyata sudah ada Aji Mangko dengan kain sarung putih, baju koko putih dan kopiah putih.
"Saya memanggil Rina ke mari karena ada pembicaraan yang yang sangat penting. Abang Aji Mangko mau membicarakan sesuatu dengan Rina!" buka Bu Norma Hanan, dengan wajah yang sangat serius.
Dadaku bergetar hebat melihat keadaan mencekam malam itu. Batinku bertanya, mengapa tiba-tiba Bu Norma memanggilku dan Pak Aji Mangko mau bicara secara khusus denganku. Sebelum ragam tanya dalam batinku itu menguak, Aji Mangko langsung membuka pembicaraan.
"Pertama kali saya jumpa Anda, indera ke enam saya menangkap, bahwa Anda lah orang yang saya cari-cari selama ini. Kebetulan, yang saya cari-cari selama ini ternyata tidak jauh, yaitu karyawan perhotelan saya sendiri!" ungkap Aji Mangko.
Wajah Aji Mangko tiba-tiba mengendur, bahkan dia sangat berharap bahwa saya akan mau bekerjasama dengannya untuk suatu tugas berat. Batinku bergolak saat mendengar bahwa tugas yang dimaksud adalah tugas mistik, melakukan suatu ritual bernegosiasi dengan Jin Otan di hutan Linggis Bunto, Nusa Tenggara Barat.
"Nasib perusahaan besar ini tergantung dari mau atau tidak Anda melakukan tugas ini. Jujur saja, tidak ada satupun yang bisa melakukan ritual itu selain Anda, Rina Hanan. Petunjuk gaib yang saya terima benar-benar mengarah kepada Anda dan Jin Otan hanya ingin bernegosiasi dengan Anda. Tolonglah saya, tolonglah perusahaan ini!" pinta Aji Mangko, memelas.
Bu Norma Anjani memegang tanganku, lalu meremas jemariku sambil penuh harap.
"Bantulah kami Rina, hanya kau bisa menyelamatkan perusahaan besar ini, juga menyelamatkan abang saya ini, Aji Mangko!" harap Bu Rina Anjani.
Bertemu dengan jin di malam hari, di hutan belantara yang sepi selama tiga hari, sungguh suatu tugas yang berat. Mission imposible ini bukan saja jauh dari nalarku, tapi juga sangat musykil dan super berat. Aji Mangko dan Norma Anjani pun akhirnya terbuka bahwa kesuksesan usahanya di Belanda dan di beberapa negara, termasuk di Indonesia ini, semuanya karena pertolongan Tuhan lewat medium Raja Jin Otan.
"Setiap sepuluh tahun satu kali, Raja Jin minta gadis perawan tua seperti aku, datang sendirian kepadanya dan orang yang sudah dipilihnya secara khusus.
"Jadi aku ini dijadikan tumbal untuk dibunuh atau diperkosa oleh Raja Jin hutan Linggis Bunto itu?" desakku, berdebar-debar kepada Aji Mangko dan Norma Anjani.
"Tidak sayang, Demi Allah Anda tidak diapa-apakan, tidak diperkosa tidak pula dibunuh. Anda hanya bernegosiasi, berbicara dan bersedia menjadi teman baik Raja Jin Bunto itu. Dan harus diingat, Anda sudah dipilih dan dimanapun berada, akan selalu dibuntuti walau Anda suka ataupun tidak suka. Tapi sebaiknya, Anda berusahalah untuk suka kepadanya, karena dia makhluk Tuhan juga dan menyembah Allah, bukan pada yang lain!" terang Aji Mangko, yang diangguki kepala oleh Norma Anjani.
Karena aman dan jauh dari bahaya, dengan restu orangtua, aku ritual juga di dalam hutan belantara itu. Aku masuk hutan pada malam Jum'at Kliwon pukul 18.00 WIT. Habis sholat Maghrib di hutan, di bawah pohon tembesu, aku memulai membaca mantra yang diajarkan Aji Mangko dan penasehat spiritualku, Kamil Ahmad. Suara binatang hutan semua kudengar pada malam ritual pertama itu. Aku juga menyaksikan macan kumbang, srigala dan burung hantu di tengah rintik hujan. Sesuai yang dipesankan Aji Mangko, bahwa aku akan aman dari serangan makhluk apapun, malam itu aku benar-benar tidak diganggu. Bahkan semua hewan liar itu jadi seperti teman.
Pada malam kedua aku tidak menemukan Raja Jin yang dimaksud. Pada malam ke tiga, pukul 23.45 WIT, barulah aku bertemu dengan makhluk yang bertubuh tinggi besar itu. Mulanya berbentuk asap keluar dari dalam gundukan tanah, lalu lama-lama di bawah bias purnama, aku melihat sosok Raja Jin itu yang bertubuh hitam legam. Jantungku berdebar hebat, batinku tiba-tiba menciut karena takut. Sebab yang namanya tumbal, biasanya dibunuh atau diperkosa. Tapi aku sudah siap apabila terpaksa menghadapi kenyataan buruk itu. Alhamdulillah, Raja Jin itu ternyata baik hati dan meneduhkan rasa takutku dengan tawanya yang menggelegar. Tawa itu terdengar seperti guntur di langit.
"Bawalah batu permata ini untuk Aji Mangko, pulanglah malam ini juga ke kota. Kau jadi sahabat sejatiku sampai kapanpun!" kata Raja Jin itu.
Malam itu juga aku menuju mobil yang tersedia di pinggir hutan. Di sana sudah menunggu sopir pribadi Bu Norma yang siap membawaku ke kota. Subuh dinihari, aku sampai di Senggigih dan memberikan bungkusan titipan jin untuk Aji Mangko yang ternyata batu Permata Intan Koh Hinur. Ternyata dengan batu mulia berharga itulah maka Aji Mangko menjadi orang yang kaya raya di Eropa dan memiliki banyak perusahaan di dunia. Sejak itu aku dan keluarga diberi hadiah tiga hotel bintang di Jakarta dan Bali. Saham terbesar hotel milik kami dan ayahku menjadi pemilik salah satu hotel dan meninggalkan bisnis bebek di Mataram.
Adik-adikku semua punya perusahaan, saham-saham yang terus mengalirkan uang di setiap bulan. Kini aku sudah bermukim di Amsterdam dan mengelola hotel milik sendiri berbintang lima. Sementara itu, setiap satu tahun sekali aku pulang ke NTB menemui keluarga dan Raja Jin hutan Linggis Bunto. Kami bersahabat dan berhubungan baik-baik sebagai teman. Intan Koh Inur yang diberikan, ternyata intan yang sangat berharga, yang dicari-cari oleh raja-raja kerajaan besar di dunia, sebagai batu mulia dan permata prestisius kerajaan. Raja Jin Otan, berjanji akan memberikan salah satu intan berharganya untukku, bila aku telah berumur 45 tahun nanti. Aji Mangko dan Norma adiknya, kini semakin berjaya sebagai usahawan di Belanda dan Jerman. Bahkan Bu Norma Anjani sekarang punya hotel di atas air yang mewah di dekat Barcelona, negeri Spanyol. Kisah ini merupkana kisah nyata yang dialami oleh Rita Hanan, Henny Nawani menulis cerita kehidupan pribadi ini untuk kami. Nama pelaku di cerita ini kami samarkan untuk privasi.