Selasa Legi, 5 November 2024
Kala itu, kejayaan Majapahit pun mulai berangsur redup. Nun jauh disana di Katumenggungan Wilwatikta yang tenang dan damai, di pagi nan cerah itu, sang Tumenggung yang dikaruniai sepasang anak yang mulai beranjak dewasa, yakni Raden Sahid dan Dewi Rasa Wulan memanggil keduanya untuk menghadap. Setelah keduanya menghaturkan sembah bakti, sang Tumenggung pun berkata : "Sahid, sekarang engkau sudah dewasa. Mulai sekarang, engkau harus bersiap-siap untuk menggantikan bila aku sudah tak mampu lagi melaksanakannya." "Sebelumnya, aku dan ibumu berharap agar engkau segera menikah. Katakanlah, gadis mana yang selama ini telah menjadi tambatan hatimu. Nanti aku yang akan melamarkannya untukmu," imbuhnya.
Raden Sahid yang duduk bersila dengan takzim dan kepala menunduk sebagai tanda hormat kepada orang tua, hanya diam membisu. Hatinya benar-benar galau. Betapa tidak, sejatinya, di dalam hati ia menolak untuk segera menikah. Tapi apa daya, jika menolak, ia takut membuat kedua orang tuanya kecewa. Padahal dalam hati yang sangat dalam, beliau menggerutu, belum siap memikirkan tentang arti sebuah mahligai rumah tangga. Di tengah-tengah suasana yang mencekam itu, mendadak terdengar suara Tumenggung Wilwatikta memecah kesunyian; "Mengapa engkau diam Sahid?" "Apakah engkau menolak permintaanku?" Sambungnya cepat. "Ampun ayahanda," sahtu Raden Sahid dengan terbata-bata,"tak ada maksud hamba untuk menolaknya." "Tetapi mengapa engkau diam dan tidak segera menjawab," potong sang ayah dengan cepat. "Ampun ayahanda,"jawab Raden sahid dengan santun," sampai saat ini, hamba masih menimbang-nimbang, wanita mana yang tepat untuk menjadi menantu ayahanda." Tumenggung Wilwatikta pun menarik napas lega, "Baiklah kalau begitu. Pertimbangkan dengan masak-masak, dan hati-hati dalam menentukan jodohmu".
Karena dianggap cukup, maka Raden Sahid pun diperkenankan untuk undur diri. Dan kepada Dewi Rasa Wulan, sang ayah hanya berpesan agar dirinya bersiap-siap untuk menerima pinangan dari pemuda yang sudah ditetapkan oleh kedua orang tuanya. Tanpa berani membantah, Rasa Wulan pun hanya diam lalu, ia pun undur diri dari hadapan ayahandanya. Tidak seperti biasanya, keceriaan yang biasa diperlihatkan keduanya di kadipaten mendadak hilang. Hingga malam menjelang, Raden Sahid masih disungkupi kegelisahan. Bahkan, matanya pun tak bisa dipejamkan walau malam terus merangkak. Hatinya teramat sedih "Untuk menghindar dari paksaan ayah, kiranya aku harus pergi dari sini," demikian bisik hatinya. Dan benar, seiring dengan malam yang terus merangkak dan seisi katumenggungan sedang terbuai dalam mimpi indahnya masing-masing, diam-diam Raden Sahid pun ke luar dari kamarnya dan pergi.
Paginya, tatkala Dewi Rasa Wulan mengetahui bahwa kakaknya tak ada di kamarnya, sontak, hatinya pun khawatir. Dengan harap-harap cemas ia pun mencari sang kakak di berbagai penjuru katumenggungan. Tapi apa daya, sang kakak seolah lenyap bak ditelan bumi. Dewi Rasa Wulan pun yakin, sang kakak telah pergi meninggalkan katumenggungan tanpa meminta izin pada kedua orang tuanya. "Mengapa Kangmas Sahid tidak mengajakku," bisik hati Rasa Wulan, "padahal aku juga bermaksud pergi agar terhindar dari paksaan ayah." Dengan langkah gontai, Dewi Rasa Wulan pun masuk ke kamarnya untuk menyiapkan pakaian dan langsung menyusul kakaknya. Waktu terus berlalu. Malamnya, barulah seisi katumenggungan heboh. Mereka baru sadar jika Raden Sahid dan Rasa Wulan telah pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Mendengar laporan bahwa kedua anaknya pergi, Tumenggung Wilatikta pun terkejut. Dengan cepat ia memerintahkan seluruh telik sandi katumenggungan untuk menelisik keberadaan kedua anaknya itu. Tapi apa daya, keduanya seolah lenyap ditelan bumi. Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan bahkan bulan berganti tahun, tapi, keberadaan keduanya tetap saja tidak terendus. Berbilang waktu, dalam pengembaraannya, Raden Sahid mengalami pahit dan getirnya penderitaan serta menghadapi berbagai macam cobaan hingga di kemudian hari ia dikenal sebagai sosok waliyullah yang sangat masyhur, Kanjeng Sunan Kalijaga lewat bimbingan seorang Waliyullah Adzom Sunan Bonang, yang diteruskan kepada Sunan Gunung Jati, sampai pada akhirnya mendapat derajat kewalian secara sempurna lewat talqin Nabiyullah Khidir AS, hingga akhirnya beliau diambil mantu dan dijadikan tangan kanan paling setia oleh Sunan Gunung Jati Cirebon.
Tak jauh berbeda dengan sang kakak, di dalam pengembaraannya, setelah berbilang tahun tidak juga berhasil menemukan Raden Sahid, akhirnya, Dewi Rasa Wulan pun bertapa ngidang (bertapa seperti kijang, hidup bersama-sama kawanan kijang dan mengerjakan apa yang dikerjakan oleh kijang, termasuk memakan makanan yang biasa dimakan oleh kijang) di tengah hutan Glagahwangi (perbatasan Pasundan, Jawa Barat). Di dalam hutan nan lebat dan angker itu terdapat sebuah danau bernama Sendhang Beji, yang ditepiannya tumbuh dengan subur sebatang pohon besar yang batangnya menjorok dan menaungi permukaannya. Dan tak ada yang menyangka jika pada salah satu cabangnya yang menjorok ke atas permukaan Sendhang Beji itu terdapat seseorang yang sedang bertapa ngalong (bertapa seperti kalong, bergantungan pada cabang pohon). Ya sosok linuwih itu tak lain adalah Syekh Maulana Maghribi.
Waktu terus berlalu. Dan pada suatu nan terik, Rasa Wulan pun mendatangi Sendhang Beji. la berniat ingin mandi, untuk menyegarkan badannya. la sama sekali tak tahu jika di atas permukaan air sendhang itu ada seorang laki-laki yang sedang bertapa dan tanpa malu-malu Rasa Wulan pun membuka seluruh pakaian penutup tubuhnya. Dalam keadaan tanpa sehelai benang pun, dengan perlahan-lahan ia berjalan menghampiri danau dan mandi di Sendhang Beji. Kesejukan air danau membuat tubuhnya terasa sangat nyaman. Sementara itu, Syekh Maulana sedang bertapa tepat di atas danau memandang kemolekan tubuh Rasa Wulan dengan penuh pesona. Melihat kecantikan tubuhnya, sontak, birahi Syekh Maulana Maghribi pun bangkit hingga meneteskan bibit hidup (sperma) dan jatuh tepat di atas tempat Wulan mandi. Karena peristiwa itu, maka, Rasa Wulan hamil. Akhirnya, Rasa Wulan pun tahu jika lelaki yang bergantungan pada cabang pohon diatas danau itulah yang menyebabkan kehamilannya. "Mengapa engkau tega berbuat demikian?" Protes Rasa Wulan sambil menunjuk sengit ke arah Syekh Maulana Maghribi."Mengapa engkau menghamiliku?"
Syekh Maulana Maghribi hanya diam. Ia seakan tidak mendengar apa-apa. "Karena telah berbuat, maka, engkau harus bertanggung jawab!"Sergah Rasa Wulan semakin sengit. "Mengapa engkau menuduhku?" Tanya Syekh Maulana Maghribi dengan sabar. "Lihat! Aku hamil," sahut Rasa Wulan. "Engkau yakin jika aku yang menghamilimu?" Tanya Syekh Maulana Maghribi meminta ketegasan. "Ya. Aku yakin!" Sahut Rasa Wulan tegas. "Karena di tempat ini tidak ada laki-laki lain, maka, engkaulah yang kutuduh menghamiliku," imbuhnya berapi-api. Untuk menghindarkan diri dari tuduhan itu, Syekh Maulana Maghribi pun langsung mencabut kemaluannya kemudian menyingkapkan sarungnya dan menunjukkan kepada Rasa Wulan bahwa ia tidak memiliki kemaluan.
Syekh Maulana Maghribi pun berujar,"Lihat, aku bukan laki-laki. Jadi mana mungkin aku menghamilimu." "Bagaimana pun juga aku tetap menuduhmu yang menghamiliku" kata Rasa Wulan,"karena itu, engkau harus bertanggung jawab terhadap kehidupan bayi yang tengah kukandung ini." "Aku yang harus bertanggung jawab?" Tanya Syekh Maulana Maghribi. "Ya. Engkau yang harus bertanggung jawab," sahut Rasa Wulan,"mengasuh dan memeliharanya kelak setelah lahir." Syekh Maulana Maghribi tidak dapat mengelak. Dan pada waktunya, setelah anak yang dikandung oleh Rasa Wulan itu lahir, maka, si jabang bayi yang diberi nama Kidang Telangkas pun diserahkan kepada Syekh Maulana Maghribi. Kelak dikemudian hari, secara turun temurun, keturunan Kidang Telangkas menjadi raja-raja di tanah Jawa.
Kembali ke perdebatan sengit antara Dewi Rasa Wulan dengan Syekh Maulana Maghribi, saat itu, temyata kemaluannya yang dicabut berubah wujud menjadi sebilah mata tombak yang akhirnya menjadi "sipat kandel" (senjata andalan) raja-raja Jawa. Dan tombak itu dinamakan , Kanjeng Kyai Plered. Saat ini Kanjeng Kyai Plered itu merupakan salah satu dari senjata pusaka Keraton Yogyakarta. Namun menurut informasi yang beredar, tombak Kanjeng Kyai Plered yang asli telah raib dan dimiliki oleh seorang Waliyullah Kamil, yang turun temurun selalu dijaga dan dirawat secara baik, sebab hal semacam ini sudah menjadi ilmu Waris bagi ahli generasi sesama Waliyullah "Di mana hak yang terlahir dari seorang waliyullah, maka, akan kembali kepada hak sederajat lainnya" Juga seperti maqolahnya Rosulullah SAW : "Sesungguhnya hak warisku akan terpenuhi oleh keturunanku kelak, dan tiada kuberikan pengganti kecuali yang memahamiku, maka sambutlah pemberianku hingga kamu menggantikanku". "Setiap yang aku miliki (sisa peninggalan hidup) adalah bagian wujud kasar yang tiada berarti dan hakikat sebenarnya adalah kembali ke yang punya, maka peliharalah apa yang menjadi izin langsungku hingga kau menikmati dengan apa yang sesungguhnya kau pahami".