Selasa Legi, 5 November 2024
Manusia secara ragawi tidak berbeda dengan hewan. Manusia dan hewan sama-sama makan dan minum untuk mempertahankan hidupnya. Mereka bisa merasakan sakit, juga bisa mati. Namun, ketika kita bicara ruh, jelas sekali bahwa manusia berbeda dengan hewan. Meskipun demikian, bilamana kita tidak mengenal sejatinya diri kita sebagai manusia, kita tetap sama dengan hewan atau benda mati. Tanpa kita mengenal ruh illahi yang ditiupkan kepada diri kita, sejatinya tiada berbeda dengan hewan.
Ketika ruh belum ditiupkan ke dalam diri manusia, maka manusia tidak berbeda dengan hewan. Malaikat pun tidak di perintahkan untuk menghormati manusia. Manusia baru disujud oleh malaikat setelah Allah SWT meniupkan ruh. Sebagaimana Firman Allah SVVT,"Maka apabila Aku telah menyempumakan kejadiannya, dan telah Aku tiupkan ruh dari Ku ke dalamnya, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud." (QS:AlHijr, 15 : 29). Dengan mendapatkan tiupan ruh dari Allah SWT, manusia menjadi makhluk sempuma dan mulia dibandingkan ciptaan Tuhan yang lainnya.
Tata Krama Puasa Dalam tradisi kaum sufi, ritual ibadah puasa merupakan salah satu cara memenuhi kebutuhan rohani yang berkaitan dengan ruh ini. Ritual puasa yang dijalankan oleh para Sufi bukanlah sekadar menahan diri dari lapar dan dahaga sejak terbit fajar hingga Matahari terbenam, baik itu puasa sunnah maupun puasa wajib di bulan suci Ramadhan. Puasa yang sejati merupakan puasa yang dapat memotivasi pelakunya untuk meraih tujuan puasa,sebagaimana terdapat dalam Al Qur'an, Surat Al Baqarah, ayat 183 — 187: yaitu hidup bertakwa, menjadi manusia beriman, menjadi hamba yang bersyukur dan menjadi hamba yang senantiasa berada di jalan yang benar.
Wujud puasa yang tidak palsu harus memiliki dan menjalankan tata krama dari puasa itu sendiri. Tata krama dari puasa yaitu, mencegah makan, minum dan berhubungan seksual, dari mulai terbit fajar hingga masuk waktu maghrib atau terbenamnya Matahari. Karena hal ini merupakan tata krama dari ritual ibadah puasa, tentu tidak perlu tergesa-gesa mengambil makan atau minum saat tanda masuk berbuka tiba. Kebanyakan diri kita mengetahui puasa hanya pada tingkatan syariat. Sedangkan ritual ibadah puasa memiliki tujuan agar manusia mencapai akhlak yang mulia.
Orang yang hanya berhenti pada syariat, tidak akan pernah sampai pada akhlak yang mulia. Syariat hanyalah koridor atau jalan. Artinya, syariat tidak cukup hanya dilalui, apalagi berhenti di tengah jalan. Manusia yang melewati syariat itulah yang diharapkan bisa berlaku tertib, tidak bertikai di tengah jalan, dan bisa menunjukkan tata krama kellidupan yang baik. Syariat itu terikat dengan haqiqat dan haqiqat itu terikat dengan syariat. Tiap-tiap syariat yang tidak dikuatkan dengan haqiqat tidak diterima dan tiap-tiap haqiqat yang tidak dibuktikan dengan syariat pun tidak diterima pula. Syariat itu mempersembahkan ibadat kepada Allah SWT dan haqiqat itu memperoleh musyahadah daripada Allah SWT.
Berkaitan dengan puasa pada umumnya ritual ibadah puasa yang selama ini kita ketahui itu herus dilanjutkan dengan laku atau menjalankan tarekat yang disebut tapa atau ritual ibadah puasa laku. Tapa atau ritual ibadah puasa laku atau pun lakon ini selalu dijalankan oleh para Sufi. Ada pUn tapa atau ritual ibadah puasa lakon sebagai perwujudan syariat terdiri dari :
Dalam menjalankan ritual ibadah puasa, kaum Sufi juga menggembleng dirinya untuk dapat mencapai kehidupan yang mulia. Di mana dalam menjalani laku spiritualnya para kaum Sufi melakukan lakon antara lain sebagai berikut:
Ritual ibadah puasa yang dijalankan oleh kaum Sufi dengan menjalankan tarekat puasa dan laku atau lakon spiritual dapat mewujudkan menjadi manusia berakhlak mulia, memiliki budi pekerti mulia yang merupakan target utama dari pada tujuan hakekat ritual ibadah puasa. Tanpa disertai tarekat puasa dan laku atau lakon spiritual dalam menjalankan ibadah puasa, baik itu puasa sunnah maupun yang wajib di bulan suci Ramadhan , maka puasa kita hanyalah sebentuk upaya menahan diri dari yang membatalkan puasa dalam rentang waktu terbit fajar hingga terbenam matahari.
Dengan menyertakan pola tarekat puasa dan laku atau lakon spiritual yang sangat ketat dalam melakukan kehidupan ritual ibadah sehari-hari dan ritual ibadah puasa yang di jalankan oleh kaum Sufi, maka dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menghindari percekcokan yang tiada gunanya. Yang tercipta merupakan suatu kegiatan yang dapat kita kerjakan dan sepi dari kepentingan. Itulah wujud dari pengabdian kepada Allah SWT. Jika kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan benar dan sejatinya menjalankan ibadah puasa, sebenarnya kita telah menang berperang melawan iblis. Manusia yang berperang melawan iblis yang ada di dalam dirinya merupakan perang sabil yang sesungguhnya.
Jadi perang sabil hakekatnya bukanlah perang melawan kaum kafir. Di dalam hati kitalah perang sabil itu terjadi, lantaran kekafiran bergolak dengan hebat untuk mengalahkan niat luhur di dalam hati kita. Hasil dari penggemblengan ritual ibadah yang dilakukan oleh setiap orang yang rnelakukannya seperti yang di jalankan oleh para Sufi akan dapat menyinari akal, budi pekerti dan pikiran di dalam diri rnanusia. Ruh dan sukmanya tersinari oleh sinar Nur Illahi. Bila instrumen batin kita di terangi oleh ruh yang berasal dari Allah SWT, maka menyatulah hakikat hidup kita dengan "Zat Wajibul Mulia Ningrat", atau Allah SWT, Tuhan Yang Wajib Memuliakan alam semesta, kondisi ini disebut oleh para Sufi, "sukma menjelma sebagai hamba, hamba menjelma pada sukma, nafas sirna menuju ketiadaan, badan kembali sebagai tanah."
Ketika sukma atau ruh dari Allah SWT yang menjelma sebagai hamba dan harnba sudah menyatu kembali pada Allah SWT, maka tuntutan nafsu akan lenyap. Begitu pula tuntutan badan jasmani. Pada kondisi demikian sang hamba akan senantiasa dipimpin langsung oleh Allah SWT, yaitu dengan meniupkan ruh ke dalamnya untuk memperkuat ruh yang sudah ada. Ruh inilah yang menjadikan cahaya yang menunjukkan ke jalan yang lurus dan benar. Namun yang terpenting bagi kita adalah riyadhah dan latihan di dalam setiap melakukan ritual ibadah baik wajib maupun sunnah tidak akan memberi faedah dan tidak akan mendekatkan diri kita kepada Allah SWT selama perbuatan kita tidak sesuai dengan syariat dan sejalan dengan sunah Nabi Muhammad SAW.