Selasa Legi, 5 November 2024


Apa itu Mantra?


Mantra adalah merupakan media manusia untuk bisa berhubungan dengan kekuatan yang gaib. Melalui mantra itu pulalah doa manusia yang khusyuk akan diijabah Allah. Tentu saja tidak semua orang dapat berhubungan dengan kekuatan gaib. Orang awam yang memerlukan bantuan dari kekuatan ghaib biasanya meminta pertolongan seorang paranormal atau pawang. Mereka inilah yang nantinya yang akan berhubungan dengan kekuatan gaib tersebut melalui dengan cara membacakan (merapal) mantra tertentu sesuai dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai pasien tersebut.

Mantra bertolak dari kesadaran akan kosmos, bahwa alam yang nyata (zahir) merupakan mikrokosmos dari alam yang lebih luas dan gaib. Didalam mempelajari mantra di perlukan berbagai persyaratan-persyaratan khusus, misalnya, dengan menyediakan kain putih sekabung, sekin (pisau) sebilan, pisang dan sirih selengkapnya. Syarat-syarat ini kelihatannya formal sekali, tetapi sesungguhnya benda-benda tersebut merupakan lambang dari pengertian yang lebih luas lebih dalam. Benda-benda tersebut merupakan mikrokosmos dari suatu makrokosmos. Ia merupakan wakil dari hakikat dan pengertian yang lebih dalam.

Untuk dapat menguasai mantra ini, juga berlaku adanya pantangan. Contohnya, sewaktu memutus kaji (ilmu), si murid dipantangkan untuk bertemu dengan sang guru dalam masa tertentu. Jika pantangan ini dilanggar, maka bisa berakibat fatal, misalnya salah seorang dari mereka dapat meninggal karenanya. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk dari kesadaran akan hubungan antara mikrokosmos dengan makrokosmos.


Baca juga :

Di dalam mantra, sebuah kata tidak hanya sekedar mengantarkan pengertian tertentu saja (yang sesuai dengan kata itu) tapi sekaligus juga mengantarkan pengertian dan keadaan yang lebih luas. Sebuah kata tertentu selaln mewakili pengertian tertentu, juga ada yang langsung mewakili bendanya atau hal keadaannya. Mantra yang ada hubungannya dengan "bisa" atau racun sering disebut nama Sutan Karimun dan Sidan Naurai. Masyarakat yang berada di daerah Minang pasti pernah mendengar nama tokoh tersebut. Nama tersebut selain mengantarkan kita pada pengertian tertentu Ia juga sekaligus lambang dari suatu keadaan bahkan suatu peristiwa sebagai latar belakang.

Dikisahkan, Sidan Naurai seorang istri yang sangat sial. Bagaimana tidak, dia telah beberapa kali menikah namun selalu saja suami-suami tersebut meninggal pada saat bulan madu. Pada akhirnya ia nikah  dengan seorang Lebai yang bernama Sutan Karimun. Peristiwa masa lalu Sidan Naurai menjadi tanda tanya di hati Sutan Karimun sehingga pada malam pertama perkawinannya itu diintipnya istrinya yang sedang tidur karna kelelahan habis acara perkawinan siang tadi. Terkejutlah sang Lebai itu. Rupanya dari lubang hidung Sidan Naurai keluar seekor lipan merah bercahaya dan menjalar di sekujur tubuhnya.

Sewaktu didekati lipan tersebut kembali menghilang dan masuk ke dalam lubang hidung Sidan Naurai. Besoknya Sutan Karimun menyiapkan sebuah perangkap berupa buluh. Malam itu ia tidak tidur dan berjaga-jaga. Sewaktu lipan itu keluar segera ditampungnya dengan buluh tersebut kemudian buluh itu ditutup dan diletakkannya jauh-jauh. Keesokan harinya barulah buluh itu dibakarnya di tengah sawah. Abu pembakaran tersebut disimpan dan dianggap sebagai induk bisa.

Dalam mantra nama Sidan Naurai selain sebagai nama ia juga merupakan asal dari bisa (lipan). Sementara Sutan Karimun sang penakluk dan penyimpan bisa tersebut. Dalam kepercayaan totemisme segala benda yang dianggap keramat mestilah dapat dijelaskan berdasarkan suatu peristiwa atau kejadian yang merupakan asal usul kekeramatan tersebut. Demikian pula dengan mantra. Nama benda, atau semua yang diseru di dalam sebuah mantra, merupakan sebuah lambang dari yang keramat atau sakti. Itulah sebabnya nama benda atau sesuatu yang diseru itu punya cerita tersendiri. 

Kehidupan mantra sebetulnya lebih subur dan lebih cocok dengan kepercayaan animisme atau dengan totenisme. Akan tetapi, ternyata bahwa sesudah ajaran Islam masuk, tidak serta merta meniadakan kehidupan mantra, malahan terjadi semacam asimilasi. Awalnya dengan mengucapkan nama Allah dan akhirnya mengembalikan agama ini kepada Allah. Bentuk lain dari asimilasi ialah dengan semakin berkurangnya mantra-mantra jahat/hitam. Karena mantra yang demiklan dianggap tidak cocok dengan ajaran putih. Sementara mantra yang bersifat dan bertujuan baik tetap hidup dan dikaitkan dengan kepercayaan dan ajaran agama Islam. Sebagaian jenis sastra mantra ini menjadi unik dan menarik oleh adanya unsur magis dan adanya kepercayaan di dalamnya. Sebagai salah satu bentuk puisi ia ternyata ekspresif sekali. 

Kata-kata kadang menjadi tenggelam dalam suasana. Sebagai mantra ia tidak akan ada artinya bilamana proses pemusatan dan pendalaman tidak mencapai titik yang maksimal. lnilah yang disebut di dalam mantra sebagai makrifat. Ini pula agaknya yang menarik perhatia para penyair modern untuk lebih banyak berorientasi kepada mantra. Suasana mantra lebih cocok dan lebih relevan dengan suasana yang diperlukan puisi modern.  Dari sejumlah daftar pertanyaan yang disebarkan sang ahli mantra dan filosofi kepada beberapa penyair, 100 persen menjawab mereka amat berminat mempelajari mantra dan 100 persen juga menjawab pengetahuan itu akan mereka terapkan dalam puisi-puisi yang akan mereka tulis.

Orientasi kepada mantra adalah orientasi kepada suasana dan kepada proses penciptaan, karena di antara bentuk-bentuk puisi lisan, mantralah yang memillki proses intensifikasi dan proses konsentrasi yang paling kuat, punya suasana yang intens dan bahkan magis. Berikut salah satu mantra Minang yang bertajuk kepada bisa, yang mana saya akan nukilkan sedikit tentang salah satu mantra penjinak dan penaik bisa, yang mana dalam menguasai mantra ini kita tak diharuskan puasa atau laku lainnya, cukup dihafal dan bila akan digunakan tinggal dibaca 1x dengan penuh keyakinan maka kekuatan gaibnya pun akan langsung bereaksi.

“Bismllahirohmanirrohim, Haq biso bukan nyo biso, biso allah lobiah tajam dari pado podang, lobiah sati daripado korih, lobiah burani daripado sagalo biso songek nan mamantak clari sagalo songek, songek dari sidan naural nan bajinak sutan karimun, kun kato alah yakin kato muhamad, biso jago...dst"

Untuk menghindari kepada hal-hal yang tidak diinginkan yaitu penyalahgunaan mantra tersebut, penulis terpaksa tidak melanjutkan menuliskan tentang mantra penjinak dan penaik blsa tersebut. Sebab jika mantra ini dibaca dan diniatkan untuk menaikkan "bisa" seseorang, maka sasaran yang luka gores sedikit saja akan bernanah, membusuk dan tentu saja sangat sakit dan jika tak secepatnya ditawar bisanya akan semakin naik dan menjalar, akibatnya tentu saja sangat fatal!







 


GHAWGHA

Kekuatan misterius yang muncul akibat berkumpulnya sejumlah orang/massa sehingga menimbulkan sikap beringas/destruktif. Biasanya jika berkumpul lebih dari 100 orang akan muncul kekuatan negatif ini. Bau minyak cendana diyakini bisa menetralkan kembali emosi massa.

WUKU

Wuku adalah nama sebuah siklus waktu yang berlangsung selama 30 pekan. Satu pekan atau minggu terdiri dari tujuh hari sehingga satu siklus wuku terdiri dari 210 hari. Perhitungan wuku (bahasa Jawa: pawukon) terutama digunakan di Bali dan Jawa. Ide dasar perhitungan menurut wuku ini adalah bertemunya dua hari dalam sistem pancawara(pasaran) dan saptawara (pekan) menjadi satu. Sistem pancawara atau pasaran terdiri dari lima hari, sedangkan sistem saptawara terdiri dari tujuh hari. Dalam satu wuku, pertemuan antara hari pasaran dan hari pekan sudah pasti. Misalkan hari Sabtu-Pon terjadi dalam wuku Wugu. Menurut kepercayaan tradisional orang Bali dan Jawa, semua hari-hari ini memiliki makna khusus.




RAMALAN


Grup Telegram Dunia Gaib

belajar metafisika