Selasa Legi, 5 November 2024
Bengawan solo, riwayatmu kini. Demikian selarik lantunan lagu indah yang diciptakan oleh Alm. Gesang seolah mampu membawa pendengarnya ke masa lalu. Suatu masa ketika aliran sungai bengawan ini masih menjadi urat nadi bagi kehidupan manusia -- berbeda dengan kondisi sekarang dimana bengawan solo seolah menjadi tempat pembuangan limbah yang merusak. Ya tak ada lagi keindahan di aliran sungai ini.
Warta berkisah, dahulu, di salah satu aliran tepatnya di kota Ngawi, Jawa terdapat suatu tempat yang dikenal dengan sebutan "Kerek" suatu jeram yang deras dengan bebatuan yang mlapar sehingga tiap perahu yang lewat dipandu menggunakan tambang agar melewati tepiannya dengan selamat. Selain jeram dan bebatuannya yang tak bersahabat itu, sejak dahulu, tempat ini memang sudah dikenal keangkerannya. Ya tempat itu dijaga oleh seekor buaya jantan yang bernama Ki Joko Kerek. Hanya sepemakan sirih jaraknya dari kerek ini, terdapat Desa Kuwung, Ngawli yang pada zaman pemerintahan kerajaan pajang di bawah tampuk kepemimpinan Mas karebet, alias Joko Tingkir, alias Sultan Hadiwidjojo, pimpinan Desa Kuwung dijabat seseorang yang dikenal dengan sebutan Kyai Ageng Kuwung.
Suatu ketika, saat Ki Ageng Kuwung sedang jalan-jalan melihat aliran Bengawan Solo yang sedang meluap, tiba-tiba, di salah satu aliran bengawan yang bernama Kali Kurung, ia melihat seorang bocah lelaki yang terdampar di tumpukan sampah. Hati Ki Ageng begitu trenyuh melihat keadaannya. Sang bocah pun ditolong dan dirawat sebagaimana mestinya oleh Ki Ageng Kuwung, dan diberi nama Joko Sangsang. Dan pada akhimya, Joko Sangsang pun menjadi pangon (penggembala) kerbau milik Ki Ageng Kuwung. Sejatinya, sebelum dijadikan pangon oleh Ki Ageng Kuwung, Joko Sangsang adalah anak angkat dari seorang janda di desa Jambe, yang lebih dikenal dengan sebutan Mbok Rondho Jambe. Dan bila menilik wajahnya yang sangat tampan, bisa jadi Joko Sangsang keturunan Trahing Kusuma Rembesing Madu (bangsawan) mungkin dia terlahir dari hubungan gelap, atau bahkan dari salah seorang garwa ampilan (selir).
Bak selalu dipayungi dengan keberuntungan, sejak dipelihara Joko Sangsang, kerbau Ki Ageng Kuwung pun berkembang menjadi sangat banyak. Jika sedang merumput dan dilihat dari kejauhan, maka, kerbau-kerbau tersebut seolah semut yang sedang bergerombol agaknya inilah yang menyebabkan, kenapa sungai tempat memandikan kerbau milik Ki Ageng Kuwung dikenal dengan nama Kali Semut. Seperti biasa, setelah lelah bekerja seharian, Joko Sangsang dan teman-temannya pun tertidur.
Malam itu, kebetulan, Dewi Maya, putri Ki Ageng Kuwung sedang keluar dan secara kebetulan melihat ada cahaya gilang gemilang yang bersinar dari tubuh salah seorang penggembala yang sedang terbuai dalam mimpinya masing-masing. Dengan berhati-hati, Dewi Maya pun mendekati dan membuat simpul pada sarung yang dikenakan oleh tubuh yang mengeluarkan cahaya tersebut. Paginya, dengan bergegas Dewi Maya menghadap ayahnya dan meminta agar dinikahkan dengan pemuda yang mengenakan sarung yang ada simpulnya.
Dengan berat hati, akhirnya, Ki Ageng Kuwung membangunkan seluruh bocah pangon dengan mendadak, dan meminta mereka untuk segera menghadap. Setelah berkumpul dan diperhatikan satu persatu, ternyata, sarung yang memiliki simpul adalah kepunyaan Joko Sangsang tapi apa hendak dikata, walau dengan berat hati, apalagi keduanya sudah dianggap dewasa, maka, mereka pun dinikahkan. Rasa malu yang teramat sangat, membuat Ki Ageng Kuwung berusaha untuk memutuskan tali kasih di antara keduanya dengan cara meminta kepada sang menantu agar mengabdikan dirinya di keraton Pajang. Dan pada pagi yang cerah itu, Ki Ageng Kuwung pun memanggil menantunya.
Ketika Joko Sangsang menghadap, dengan penuh wibawa Ki Ageng pun berkata; "Sangsang, sebagai menantu Ki Ageng, engkau harus mampu mengangkat derajat dan martabatmu. Aku bekali sepucuk surat untuk disampaikan pada Sultan Pajang, agar engkau diterima sebagai abdi dalem di sana."
"Sendika, Ki Ageng", jawab Joko Sangsang sambil menerima surat dan langsung mohon diri kepada Ki Ageng Kuwung dan istrinya untuk segera berangkat ke Pajang. Singkat cerita, Joko Sungsang pun tiba dan diterima sebagai seorang abdi dalem karena terampil dalam olah kanuragan, maka, dalam waktu singkat ia sudah diangkat menjadi salah seorang Wira Tamtama di Pajang. Wajah yang sangat tampan, ternyata membuat Sang Nata yang waskitha ini tertarik dan menikahkan salah satu putrinya dengan Joko Sangsang.
Ya Sang Nata mafhum, di tubuh Joko Sangsang bersemayam wahyu agung. Waktu terus berlalu. Setelah merasa cukup lama suwita (mengabdi) di ketaton Pajang, Joko Sangsang pun,meminta izin pada isterinya, Sulistyaningwai untuk mudik ke desa Kuwung. Nun jauh di sana di Desa Kuwung, Dewi Maya yang sudah sekian lama tak mendengar kabar berita dari suaminya, diam-diam, nekat meninggalkan rumahnya. Tujuannya hanya satu, menemui suaminya di keraton Pajang. Kerinduan yang mendalam membuat Dewi Maya lupa, betapa ia harus menyeberangi aliran Bengawan Solo yang kebetulan airnya tak seberapa deras --- padahal, pada saat seperti ini, masyarakat sekitar aliran bengawan didera perasaan ketakutan. Betapa tidak, menurut mereka, inilah saat sang mbahurekso (penunggu gaib) sedang mencari mangsanya.
Dan benar ketika tiba di tengah sungai, kaki Dewi Maya bebatuan yang belumut hingga terjatuh, hanyut dan tenggelam di kedhung (bagian sungai yang terdalam). Agaknya, takdir ingin menyatukan Dewi Maya dengan suaminya, Joko Sangsang. Pada saat yang sama, Joko Sangsang pun tiba di lokasi kejadian tempat tenggelamnya Dewi Maya. Hatinya tercekat manakala melihat banyak orang berkerumun di sana. Semuanya sibuk mencari jasad Dewi Maya! Ketika tahu bahwa yang tenggelam adalah istrinya, Joko Sangsang pun langsung mendekati kedhung tersebut. Aneh, yang tampak dalam penglihatannya, Dewi Maya sedang melambai-lambaikan tangan dengan gembira seolah merninta Joko Sangsang untuk segera menyusulnya.
Tanpa berpikir panjang lagi, Joko Sangsang pun segera memburu istrinya. Semua yang ada terkesiap! Ya sejak itu, Joko Sangsang pun tak pernah kembali lagi. Sementara itu, di tepian bengawan, Ki Ageng Kuwung hanya bisa menangis, menangis dan terus menangis. Hatinya benar-benar terpukul! Tapi apa daya, nasi telah menjadi bubur. Dengan terbata-bata, Ki Ageng Kuwung pun berkata : "Untuk menjadi peringatan agar kejadian ini tak terulang, maka, kedhung ini kuberi nama Kedhung Maya".
Sementara itu, di Pajang, Dewi Sulistyaningwarni, istri Joko Sangsang pun gelisah tak menentu. Entah kenapa, sekali ini ia merasa khawatir akan keselamatan suaminya. Dengan isak tangis, ia pun meminta izin kepada Sang Nata untuk menyusul suaminya ke desa Kuwung. Setelah mendapatkan izin, dengan pengawalan yang ketat, ia pun berangkat menuju ke desa Kuwung. Ketika tiba di dekat desa Kuwung, tepatnya di Kerek, ia mendapat cerita dari beberapa orang bahwa beberapa waktu yang lalu, suaminya, Joko Sangsang tenggelam di kedhung Maya. Dengan langkah gontai dan deraian air mata di pipi, sang dewi pun minta diantar ke kedhung Maya. Tiada seorang pun yang menyangka, setibanya di sana, Dewi Sulistyaningwami, pun langsung menceburkan diri dan tak pernah kembali, lagi.
Inilah tragedi cinta segi tiga yang dilatarbelakangi dengan kesetiaan! Sejak saat itu keangkeran Kedhung Maya pun langsung saja menjadi buah bibir masyarakat yang biasa hilir mudik di Bengawan Solo. Bahkan sampai sekarang, tak ada seorang pun yang berani mengeluarkan kata-kata tak senonoh bila lewat di lokasi yang satu ini. Semuanya terdiam! Bila ada yang nekat, biasanya, perahu akan terbalik dan menewaskan seluruh penumpangnya. Ya memang sudah sepantasnya kita harus saling menghormati terhadap sesama makhluk ciptaan-Nya.