Kamis Pahing, 21 November 2024
Beberapa tahun yang lalu, tepatnya dua hari setelah Idul Fitru. Kami bersama keluarga berkunjung ke suatu tempat wisata di sekttar daerah Cirebon, Jawa Barat. Nama obyek wisata fauna itu Kampung Bulak. Daya tarik bagi pengunjung di sana adalah segerombolan monyet yang menghuni hutan kota. Para pengunjung disuguhi gerak-gerik monyet-monyet liar di alam bebas. Ada yang makan kacang tanah, ada yang sedang berebutan makanan, ada juga yang sedang bergelantungan di atas dahan. Bahkan ada juga yang hanya menatap dengan tatapan sayu kepada pengunjung, seperti sedang pilu.
Konon, menurut cerita masyarakat asal-muasal keberadaan monyet-monyet itu dari jelmaan dari bala tentara atau prajurit Sunan Gunung Jati. Mereka dikutuk oleh kanjeng Sunan karena kekesalannya, tingkah lakunya susah diatur dan dinasehati. Seperto, diberi makanan selalu berebuatan, bersitegang dengan sesama rekannya. Dan yang membuat hilang kesabaran beliau, mereka sudah tidak menjalankan sembahyang lima waktu. Maka dengan kesaktian seorang wali, terlontar kalimat, "Kalian itu seperti ketek-ketek (monyet) susah diatur!" Maka berubahlah wujud para prajuritnya itu menjadi monyet. Kendati ada rasa penyesalan didalam hati Sunan Gunung Jati, namun beliau tidak bisa mengembalikan wujud prajurit-prajurit itu ke bentuk manusia lagi. Itulah cerita asal-muasal komunitas monyet diobyek wisata Bulak, menurut masyarakat Pesisir Utara Jawa. Di luar obyek wisata itu, ada tempat yang kerap didatangi para pencari pesugihan. Tempat itu sudah tak asing lagi dijadikan tempat pesugihan, walaupun ada juga orang yang menyangkalnya. Kami mengungkap tempat itu sebagai tempat pemujaan, berdasarkan penuturan seorang pelaku. Dan berdasarkan kesepakatan, nama para pelaku di dalam kisahnya nyata ini sengaja disamarkan penulis.
Pada masa-masa awal berumah tangga, Ismail merasakan dinnya seperti dicambuk ribuan kali. Bukan hanya sakit secara fisik, tapi hatinya jauh lebih terluka. Ismail ingat betul saat bahtera rumah tangganya bersama istrinya Hasanah baru semusim jagung, cacian dan makian datang bertubi-tubi. Perkawinan mereka memang tidak direstui orang tua Hasanah. Ketika berlangsung pernikahan di kantor KUA, orang tua Hasanah tidak hadir dan hanya mengutus adik bapaknya sebagai wali perempuan. Ismail sangat mengagumi kesabaran istrinya. Hidup sebagai buruh tani dengan upah yang tidak cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, namun mereka rukun-rukun saja. Mereka menempati rumah orang tua Ismail sementara orang tuanya mengalah pindah ke rumah neneknya.
Komunikasi dengan orang tua Hasanah putus, apakah memang sengaja diputuskan? Entahlah. Seiring waktu berjalan, buah perkawinannya selama dua tahun, hadir seorang anak perempuan yang cantik seperti ibunya. Cerianya suasana setelah kehadiran anak pertamanya itu, tidak menggambarkan suasana hati Ismail yang selalu resah dan bimbang. Mereka belum merasa bahagia, sebelum orang tua Hasanah merestui perkawinannya. Suatu hari, suami-istri itu berembuk berdua. Semoga dengan kehadiran sang cucu, orang tua Hasanah akan berubah merestui rumah tangganya. Demikian pendapat mereka berdua menyimpulkan. Sehingga pada suatu hari, mereka membulatkan tekad untuk bersilahturahmi ke rumah orang tua Hasanah, dikampung Pulo.
Namun apa yang terjadi setelah mereka tiba? Sungguh, orang tua Hasanah yang kaya itu, hatinya sudah seperti batu. Mereka bertiga diusir mentah-mentah. Sepanjang jalan pulang Hasanah hanya bisa menangis, sementara anaknya hanya menatap lugu di gendongannya. Ismail hanya diam. Suatu hari Ismail mendengar ucapan rekannya ketika sedang istirahat mencangkul di sawah milik Haji Hamid.
"Mertua kamu akan berubah sama kamu menjadi baik, kalau kamu menjadi orang kaya!" Selorohnya.
"Ngawur saja kamu modal saja tidak punya, mana bisa kaya!" Sergah Ismail.
"Gampang saja, asal kamu nekad saja," sahut rekannya.
Ismail tidak tahu, apa maksudnya nekad. Dan dia ingin tahu lebih jauh lagi, rekannya kemudian melanjutkan ucapannya.
"Caranya minta pesugihan ketek (monyet), katanya sih tidak usah pakai tumbal. Dan tumbalnya diri kita sendiri yang melakukannya. Setelah meninggal lalu menghuni alam siluman monyet sekaligus mengabdikan diri pada raja monyet disana," seloroh rekannya sambil tertawa.
Ismail memang pemah mendengar bahwa di daerah Cirebon ada tempat pesugihan kepada siluman monyet. Konon, bila si pelaku meninggal dunia wujudnya akan berubah menjadi seekor monyet jejadian. Dan sebelum mengabdi di alam siluman monyet kelak, terlebih dahulu menghuni dan bercampur dengan komunitas monyet-monyet yang berada di taman satwa Bulak. Makannya jumlah monyet-monyet di sana tidak berkurang atau lebih dari sejak dulu kala. Ya, antara yang datang dan yang dipanggil seimbang. Sejatinya yang datang itu berasal dan pelaku pesugihan yang baru meninggal sedangkan yang pergi, itu kehendak raja siluman monyet mengabdi di alamnya hingga kiamat tiba.
Lama kelamaan omongan rekannya itu meresap juga di hati Ismail. Dan rasa ingin melakukan ritual pesugihan mulai berakar di hatinya. Mungkin akibat memendam sakit hati oleh hinaan orang tua Hasanah akhirnya jebol juga keimanannya. "Masa bodoh, kelak matiku mau jadi ketek atau celeng yang penting aku jacii orang kaya di dunia, soal mati urusan nanti," demikian teriak batin Ismail. Lalu, disela waktu menjelang tidur, Ismail mengemukakan maksudnya kepada Hasanah. Istrinya hanya diam, melarang tidak dan menyuruh pun tidak. Hal ini diartikan Ismail sebagai lampu kuning dan harus ditindaklanjuti sendiri. Tinggal membulatkan tekadnya lagi untuk meraih harta dunia secara instan. Langkah pertama yang dia lakukan mengunjungi rumah Sarim. Orang yang biasa menjadi petunjuk jalan bagi mereka yang ingin melakukan pesugihan. Rumahnya tidak seberapa jauh dengan rumah Ismail, hanya beda RT. Ismail mengutarakan maksud kedatangannya, dan Sarim pun menyanggupinya.
Esoknya, hari Selasa Kliwon mereka berangkat dan setelah menempuh perjalanan selama 2 jam, mereka turun dari bis di daerah Cirebon. Kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki selama satu jam melewati ladang dan pesawahan, bermandikan keringat. Matahari telah condong ke barat, hari menjelang Ashar. Ismail dan Sarim tiba di sebuah perkampungan yang hanya terdapat beberapa rumah saja. Pohon-pohon besar berdiri dengan angkuhnya mengitari kampung itu. Suasana mistik sudah Ismail rasakan semenjak kakinya menginjak gerbang kampung tadi. Lalu mereka berhenti di depan gubuk, dan Sarim mengucap salam.
"Sampurasun" Sapa Sarim dari luar.
"Rampes mangga." Sambut suara di dalam, suaranya serak-serak.
Tidak lama pintu gedek terkuak, lalu keluar lelaki renta yang sudah bungkuk dengan rambut memutih. "Eeh...sampean cah bagus" Sambutnya sambil tertawa terkekeh.
"Iya Abah udah lama saya tidak ke sini" ujar sambil mencium tangan kakek yang dipanggil abah, lalu disusul oleh Ismail salam.
Orang tua itu bernama abah Rawun. Beliau kuncen pesugihan Uyut Jabrik. Setiap tamu yang datang harus menemui abah Rawun dulu, karena sebagai penghubung antara tamu dengan Uyut Jabrik, penghuni alam siluman. Setelah berbasa-basi melepas kangen, Sarim menyampaikan maksud kedatangannya, yakni menyampaikan niat dan keinginan Ismai merengkuh kesenangan duniawi secara singkat. Tapi abah ternyata menyarankan untuk berpikr lagi. Namun Ismail tetap pada pendirian semula. Ingin kaya raya secara instan, tanpa susah payah bekerja walau harus melakukan pemujaan pada dedemitatau siluman.
"Saya sudah bertekad bulat lahir dan batin, apapun resikonya abah," ujar Ismail.
Dari ilmu penerawangan yang dimilik abah, dia bisa membaca isi hati pasiennya tidak main-main dengan keinginannya. Lalu selepas magrib, Ismail dibawa abah Rawun ke suatu tempat yang lima ratus meter dari gubuknya, sedangkan Sarim menunggu. Tiba di pohon besar yang sudah tua, batang pangkalnya di lilit kain putih. Mereka berdua lalu duduk bersila menghadap pohon lalu abah mengeluarkan sarana ritUal dari kantong yang sudah disiapakan. Pisang raja satu sisir, kemenyan, sabut kelapa yang sudah ditetesi minyak tanah, kembang setaman dan sebuh cermin sebesar buku tulis.
"Kalau nanti jangan takut kalau melihat penampakan uyut jabrik di depanmu. Camkan itu. Adapun terkabul atau tidaknya hajatmu, setelah melihat penampakan ujuy jabrik, maka lihatlah wajahmu cermin. Apabila wajahmu berubah jadi ketek artinya keinginanmu terkabul. Tapi jika wajah dicermin tetap wajah aslimu itu tandanya gagal," bisik abah. Lalu Ismail mengangguk tanda mengerti.
Ritual diawali membakar sabut kelapa, lalu kemenyan dibakar. Aroma asap kemenyan membangkitkan bulu kuduk. Dari mulut kuncen keluar mantra-mantra pengundang roh-roh penghuni alam gaib. Sementara anjing-anjing menyalak bersahut-sahutan dari kejauhan. Lalu selesai mengucapkan mantra pengundang roh Uyut Jabrik penghuni pohon tua itU, Abah Rawun meninggalkan Ismail sendirian. Abah Rawun hanya mengawasi dari kejauhan. Ditinggal sendirian, rasa takut dalam hati Ismail semakin menjadi-jadi. Tetapi ia tak berniat sedikitpun meninggalkan ritualnya. Kata-kata mertuanya yang membuat dia sakit hati sebagai perisai menahan rasa takut itu dan menambah semangat dan khusuk melakukan ritualnya.
Malam semakin merangkak menuju puncaknya. Suara-suara ganjil mulai terdengar di sekeliling. Tawa suara wanita diatas dahan, rintihan orang kesakitan dan suara ratapan yang menyayat-nyayat tidak dihiraukan oleh Ismail. Ismail tetap konsen dengan doa-doa pemanggil arwah makhluk yang dipanggil abah, Uyut Jabrik. Seperti apa sosoknya? Dia ingin tahu. Suara-suara aneh menghilang, asap putih itu semakin membesar sambil berputar bagaikan topan tornado. Kemudian asap itu diam dan perlahan menghilang diganti sosok tinggi besar seperti gorilla. Bulunya panjang-panjang dan lebat. Inilah makhluk gaib yang dimaksud abah Rawun, yakni Uyut Jabrik.
Ismail hanya menunduk, tidak kuat melihat seringai makhluk hitam legam di depannya. Matanya seperti menyala menatap kearah dirinya, lalu bertanya.
"Ada maksud apa datang ke sini cucu?" Sapanya dengan suara mantap.
"Sa....ya ingin menjadi orang kaya, uyut," jawab Ismail, gemetar.
"Kamu sudah diberitahu oleh Rawun, imbalannya kepadaku!".
"Sudah uyut !" ujar Ismail singkat.
"Bila kamu meninggalkan alam dunia nanti, kamu harus mengabdi di alamku selama-lamanya Hahahahaha...." Uyut Jabrik mengancam. Seiring gelak tawanya, sosok Uyut Jabrik menghilang entah kemana. Ismail ingat pesan abah, lalu cepat-cepat meraih cermin, dan dia bercermin. Awalnya dia terkesiap, kaget menyaksikan wajah monyet terpantul di cermin. Kemudian Ismail menjadi girang, berarti ritualnya berhasil dan sudah terbayang di pelupuk matanya akan menjadi orang kaya raya. Semua kejadian dicentakan kepada abah Rawun, dan sang kuncen pun tersenyum bahagia.
Ringkas cerita. Pada malam Jum'at setelah melakukan ritual, utusan Uyut Jabrik akan datang berkunjung ke rumah Ismail dengan membawa ikatan uang, demikian pesSan abah Rawun sebelum Ismail pulang. Sejak dari Kamis siang, Ismail dibantu istrinya membersihkan kamar yang dijadikan penyimpanan peralatan bertani, disebelah kamar tidurnya. Karena tidak memiliki kamar lagi, terpaksa dapurnya jadi tempat penyimpanan alat-alat pertanian. Suatu Ramar tersendiri, memang syarat mutlak bagi pelaku pesugihan. Sebab yang berhubungan dengan makhluk gaib, tidak akan mau berhubungan diluar kamar, selain kamar khusus.
Selepas Isya, Ismail masuk ke kamar yang sudah disiapkan. Lalu membakar kemenyan, baunya menyesakan dada. Kemudian seraya konsentrasi, mulutnya mengucapkan mantra-mantra pemberian abah Rawun. Kamar sengaja tidak diberi penerangan agar gelap gulita. Ismail tidak lelah terus menerus mengucapkan mantra pengundang makhluk utusan Uyut Jabrik. Sampai tengah malam tidak terjadi apa-apa, hanya suara-suara binatang malam yang terdengar. Istri dan anaknya sudah tidur sejak tadi, di kamar sebelahnya. Kemudian, satu jam melaju dari tengah malam, dari atas langit-langit ada sosok hitam meloncat ke hadapan Ismail, lalu meletakan sesuatu, dan berkata. "Jangan dibuka sebelum tengah hari besok!". Hanya berlangsung beberapa detik saja, makhluk itu sudah lenyap dari kamar ritualnya, entah kemana jalan keluarnya.
Hingga pagi menjelang Ismail membiarkan tergeletak sesuatu yang dibungkus daun pisang kering itu. Ingat pesan suara yang berkumandang, harus dibuka setelah tengah hari nanti. Ismail keluar dari kamar dan menguncinya dari luar. Waktu yang ditunggu-tunggupun tiba, suara beduk musholah dipukul bertalu-talu, menandakan sholat duhur telah tiba. Lalu dengan ditemani istrinya, Ismail membuka tali-tali pengikat terlebih dahulu. Kedua suami istri itu sama-sama jantungnya berdetak kencang, menahan ketegangan. Setelah bungkusannya terbuka, mata keduanya terbelalak. Sangat terkejut dan tidak percaya bahwa di hadapannya ada beberapa ikat uang nominal lima puluh ribuan tertumpuk di depan matanya. Setelah beberapa saat, kesadarannya pulih lagi, tumpukan uang itu dibungkus lagi dengan kain sarungnya. Lalu keduanya keluar kamar.
Tahun demi tahun terjadi perubahan drastis dikehidupan rumah tangga Ismail dan Hasanah. Menginjak usia perkawinan yang ke lima, dia telah memiliki rumah yang bagus dan beberapa petak sawah sendiri. Permasalahan dengan mertuanya sudah selesai, bahkan sekarang justru mertuanya membutuhkan sekali menantunya itu. Ya, terutama bila keuangan sedang mepet, sering pinjam uang pada Ismail. Sejatinya Ismail bagaikan segumpal gula yang dikerubuti semut-semut yang melahap rasa manisnya gula. Anehnya, walaupun Ismail melakukan pesugihan ketek (monyet), dia tetap dermawan dan suka menolong tetangga yang kesulitan uang. Dimata masyarakat tidak menimbulkan kecurigaan dengan hartanya yang terus melimpah, karena tidak ada satupun keluarga dan handaitaulannya yang mati mencurigakan.
Hanya pada kami beliau membuka diri, tapi wanti-wanti harus dirahasiakan. Sekarang usia Ismail menginjak enam puluh tahun, dan sakit-sakitan. Dan seperti tampak gelisah. Beliau sudah tidak memperdulikan harta kekayaannya yang terus melimpah. Semuanya diserahkan pada anaknya untuk diurus. Beliau sendiri pekerjaan sehari-harinya hanya berjalan kaki di pagi hari lalu pulang ke rumah. Sering terlihat oleh kami, beliau berbincang-bincang dengan tukang becak, pedagang sayur, tukang ojek motor dan tukang parkir di pasar tradisionil.
"Cari makan buat anak istri lebih nikmat dimakan hasil keringat sendiri, tak akan ada tuntutan atau gugatan dikemudian hari!" Kalimat itulah yang selalu terucap dari mulut beliau, bila sedang berbincang,-bincang dengan orang-orang termasuk kepada kami. Apakah maksud kalimat tersebut? Apakah hanya sebuah nasihat? Atau pekik penyesalan dari dalam lubuk hatinya dengan perjalanan hidupnya? Entahlah hanya beliau yang tahu! Demikian perjalanan hidup kisah anak manusia, yang hidupnya sepenuhnya mengabdi dan memuja siluman ketek. Akankah Ismail bila kelak meninggal dunia, akan berubah wujud jadi seekor monyet. Kemudian menyatu dengan komunitasnya di taman Bulak? Hanya Tuhanlah yang tahu!