Selasa Legi, 5 November 2024
Sepeninggal Sultan Hadiwidjojo dan intrik politik yang terjadi di Pajang, maka, banyak bangsawan yang melarikan diri ke berbagai pelosok negeri. Dan salah satunya adalah Pangeran Hirapati yang akhirnya dikenal dengan sebutan Kyai Buyut Kencana Hirapati dan mukim di desa Banjarsari, Bojonegoro, Jawa Timur.
Istilah kacang ora ninggal lanjaran (kacang panjang tidak akan jauh dari tempatnya merambat) sangat tepat untuk disandangkan pada Kyai Buyut Kencana Hirapati. Tak hanya pembaca, bukan tak mungkin, nama sosok yang mampu menaklukkan siluman buaya Kedhung Depis bahkan membawanya pulang ini juga begitu asing di telinga warga Bojonegoro, Jawa Timur. Lalu siapa gerangan sosok sakti tersebut?
Bermula dari runtuhnya Majapahit yang ditandai dengan chandra sengkala "sima ilang kartaning bumi" dan tumbuhnya era pemerintahan islam Demak Bintoro. Kala itu, selain intrik yang tajam, kekhawatiran terhadap sisa-sisa kekuatan Majapahit yang akan membentuk suatu kekuatan baru pun amat terasa. Dari sekian banyak, salah satu cucu Brawijaya V atau putra kinasih dari Prabu Handayaningrat Sepuh Pengging yang bernama Ki Ageng Kebo Kanigoro adalah merupakan sosok yang paling menonjol dan punya pengaruh besar di antara yang lainnya.
Dalam perjalanan hidupnya, murid dan juga teman dialog Syekh Siti Jenar yang dianggap mbalelo pada Demak dan penyebar agama sesat ini, akhimya tewas di tangan Sunan Kudus. Putranya, yang kala itu masih bayi diasuh dari satu Ki Ageng ke Ki Ageng yang lainnya dan dalam perjalanan waktu, jadilah ia seorang pemuda yang akrab disapa dengan Mas Karebet atau Joko Tingkir Sosok playboy, yang juga gemar berkelana dan olah tapa brata.
Dalam perjalanan dan perjuangannya menuju "tahta pajang", saat dari Padepokan Majasto menuju Mbutuh Puyang, Karanganyar, tempat ayahnya dimakamkan di suatu tempat yang wingit di ruas aliran Bengawan Solo yang bemama Kedhung Srenggenge, ia yang kala itu ditemani oleh ketiga putra Ki Ageng Sutowijoyo Majasto. Mas Monco, Mas Wilo, dan Mas Wuragil diserang oleh 450 siluman buaya. Tak perlu kita berpanjang kalam, pertempuran yang sengit pun tak terhindarkan. Akhimya, keempat pemuda pilihan itu berhasil memenangkan pertemputan yang tak seimbang itu. Bahkan, raja siluman buaya yang bemama Ki Tambak Boyo berhasil ditaklukkan oleh Joko Tingkir.
Alhasil, gethek (rakit bambu) Joko Tingkir didorong oleh 40 buaya menuju Mbutuh Puyang, Karanganyar. Dan perjalanan yang seharusnya ditempuh dalam satu minggu, bisa dipersingkat. Ya perjalanan itu hanya memakan waktu satu hari saja. Singkat kata, pada akhir perjuangannya, setelah mendapat restu Sunan Giri dan pengakuan dan para Bupati di Jawa Tengah dan Timur, ia pun memindahkan pusat pemerintahan dari Demak, ke Pajang.
Joko Tingkir yang akhirnya bergelar Sultan Hadiwijoyo dinobatkan para 1568 M dan menjadi raja pertama di Pajang. Dan seperti biasa, sepeninggalnya, pada 1582 M, Pajang yang berhasil ditaklukan oleh Mataram menjadi bercerai-berai. Kala itu, banyak bangsawan yang melarikan diri ke berbagai pelosok negeri. Dan salah satu putra Pajang yang lolos dari intrik politik itu adalah Pangeran Hirapati yang dalam pelariannya, ia dan rombongannya terus berjalan ke arah timur hingga tiba di desa Banjarsari, Bojonegoro. Karena merasa telah tiba di tempat yang diimpikan, akhirnya, Pangeran Hirapati pun mendirikan bumi padepokan di tempat itu. Kian hari, seiring dengan bertambah ramainya bumi padepokan tersebut, akhimya, ia pun lebih dikenal dengan sebutan Kyai Buyut Kencana Hirapati.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan pun berganti tahun. Pada suatu hari, Nyai Buyut disertai anaknya sedang mencuci beras di aliran Bengawan Solo. Sungguh tak disangka, kala itu, sepasang mata nan nyalang dari seekor buaya yang amat besar tengah mengawasi gerak-gerik Nyai Buyut. Akhimya, dengan satu gerakan yang tak disangka-sangka, tubuh Nyai Buyut pun langsung disambar dan dibawa ke sarangnya yang terletak di Kedhung Depis yang berjarak 4 pal dari dhukuh Banjarsari.
Tanpa membuang waktu, putra Ki Buyut yang tahu akan keadaan ibundanya langsung berlari pulang sambil berteriak-teriak. Tak perlu berlama-lama, setelah mendengar laporan sang putra, Ki Buyut Hirapati langsung berlari ke bengawan dan menceburkan diri. Dan pada saat menyelam, ia melihat tubuh isterinya berada dalam moncong seekor buaya. Dengan tenang dan penuh kewaspadaan, Ki Buyut Hirapati pun menguntit si pemangsa isteri tercinta itu. Teryata buaya itu penghuni Kedhung Depis yang sudah amat terkenal kekeramatannya.
Tak lama kemudian Ki Buyut Hirapati juga sampai di kedhung keramat yang memiliki gua pada salah satu ceruknya. Tanpa rasa takut, Ki Buyut pun langsung masuk. Baru saja di mulut gua, Ki Buyut Hirapati yang memiliki tingkat spiritual tinggi ini merasa kalau ia mulai memasuki dimensi gaib atau alam kaalusan. Namun Ki Buyut terus saja masuk dan terlihatlah gua itu berubah menjadi sebuah keraton yang megah. Anehnya buaya-buaya yang ada di situ berubah wujud menjadi manusia. Hanya isterinya, Nyai Buyut Hirapati yang berubah menjadi ayam putih di dalam kurungan.
Singkatnya Ki Buyut Hirapati bertemu dengan raja buaya yang langsung ciut nyalinya apalagi ia tahu jika manusia yang ada di hadapannya itu masih keturunan Raden Joko Tingkir penakluk Raja Diraja Buaya Tanah Jawa, Ki Tambak Boyo. Inilah sebabnya, ia tak berkutik tatkala Ki Buyut Hirapati berkata, "Kedatanganku kesini untuk mengambil ayam putih milikku yang ada di kurungan itu. Dan membawa buaya yang kurang ajar untuk aku jatuhi hukuman".
Ratu Buaya Kedhung Depis cuma bisa berkata, "Sumangga Ki Ageng". Akhimya Ki Buyut Hirapati membawa ayam putih miliknya pulang ke Banjarsari, dengan menaiki buaya si penculik isterinya. Selama perjalanan, leher buaya itu diikat dengan tali ijuk sedang mulutnya dipukuli dengan gembel (sepotong besi) hingga berdarah-darah. Boleh dikata, sepanjang perjalanan, buaya yang mandi darah itu hanya bisa meraung kesakitan.
Ternyata tak cukup sampai di situ, begitu tiba di rumah, Ki Buyut langsung memerintahkan seluruh anak, cucu dan pengikutnya memberikan hukuman yang sama kepada buaya tersebut. Karena merasa sudah tak kuat menahan sakit yang teramat sangat, akhimya, dengan merintih, sang buaya pun berkata : "Ki Buyut ampunilah hamba yang sudah bertaubat ini. Saya dan anak keturunan berjanji, tidak akan pemah berani lagi memangsa anak keturunan Ki Buyut."
Perasaan iba, seketika merayapi relung hati Ki Buyut yang paling dalam. Di tengah-tengah itu, kembali sang buaya menyambung, "Jika saya muncul di permukaan, maka, Ki Buyut harus melarang anak keturunan agar segera menjauh dari bengawan. Itu pertanda ada buaya dari jauh yang datang untuk mencari makan. Saya hanya dapat memperingatkan saja. Lain tidak!"
Akhimya Ki Buyut pun melepaskan buaya itu kembali ke Bengawan Solo. Setelah itu, usai mempersiapkan segala sesuatunya, Ki Buyut Hirapati membawa ayam betina berwama putih itu ke kamarnya. Dengan doa-doa khusus, maka, ayam betina berwama putih itu kembali maujud menjadi isteri tercintanya. Mereka pun langsung melakukan sujud syukur Di dalam perjalanan waktu, akhirnya buaya itu menjadi Dahnyang (penjaga gaib) daerah Banjarsari.
Hingga sekarang, jika ada yang melihat buaya dengan leher berkalung hitam, maka, warga pun langsung menjauhi bengawan untuk beberapa saat. Mereka meyakini, itu suatu pertanda ada buaya yang datang dari jauh hendak mencari mangsa di sana. Pada akhir hayatnya, Ki Buyut Kencana Hirapati dikebumikan di desa Banjarsari tempat ini dikenal dengan "Pasarean Buyut Kencana" atau "Pasarean Buyut Sanga". Maklum, di tempat ini terdapat sembilan batu nisan.
Tiap tahun, di tempat ini, banyak warga desa Banjarsari dan sekitarnya yang datang untuk berziarah guna mendapatkan sawab berkah agar selamat dan mulya di dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Bahkan, ketika aliran Bengawan Solo masih menjadi sarana transportasi pemiagaan, makam Buyut Hirapati acap diziarahi oleh para juru mudi perahu dan rakit. Tujuannya tak lain, agar perahu atau rakit yang mereka kemudikan tidak diganggu oleh buaya. Tapi, seiring dengan perkembangan zaman, khususnya tansportasi, maka, makam keramat ini seolah mulai banyak dilupakan orang.